Sejarah Kota Surabaya yang merupakan ibu kota Jawa Timur yang sekaligus menjadi kota metropolitan terbesar setelah kota Jakarta. Di Surabaya inilah pusat perekonomian tercipta seperti bisnis, perdagangan, industri, dan pendidikan di Jawa Timur. Kota ini terletak di sebelah timur Jakarta dan barat laut Denpasar, Bali. Kota ini berhadapan langsung dengan laut Jawa.
Baca juga:
Sejarah Kota Surabaya
Surabaya memiliki penduduk 2.813.847 jiwa (2014). Daerah Surabaya yaitu meliputi daerah metropolitan Gerbangkertosusila yang berpenduduk hampir 10 juta jiwa, angka ini terbesar kedua di Indonesia setelah Jabodetabek. Surabaya memiliki Bandar Udara Internasional Juanda, Pelabuhan Tanjung Perak, dan Pelabuhan Ujung.
Bukti sejarah banyak menunjukkan bahwa Surabaya sudah ada jauh sebelum zaman kolonial, berangka 1358 M dalam prasasti Trowulan I. Dalam prasasti itu tercantum bahwa Surabaya (Churabhaya) masih berupa desa di tepian sungai Brantas sebagai tempat penyebrangan penting sepanjang sungai Brantas. Dalam buku Negara Kertagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca yang mengisahkan perjalanan pesiar Baginda Hayam Wuruk pada tahun 1365 dalam pupuh XVII (bait ke-5, baris terakhir) juga menyebut kota Surabaya.
Banyak sejarawan yang menyangkal meski telah tertulis dalam buku Negarakertagama dan prasasti Trowulan mereka percaya bahwa Surabaya sudah ada jauh sebelumnya. Dalam hipotesisnya Von Faber, Surabaya berdiri tahun 1275 M oleh Raja Kertanegara sebagai tempat pemukiman baru bagi prajuritnya yang berhasil menumpas pemberontakan Kemuruhan tahun 1270 M. Surabaya dulunya bernama Ujung Galuh, hal ini berdasar penarikan dugaan oleh sejarawan. (Baca juga: Sejarah Candi Kalasan)
Versi lain menyatakan bahwa Surabaya berasal dari cerita tentang perkelahian hidup dan mati Adipati Jayengrono dan Sawunggaling. Setelah kalahnya tentara Tar Tar, Raden Wijaya mendirikan sebuah kraton di Ujung Galuh dan menemberi kewenangan Adipati Jayengrono untuk memimpin daerah itu. Seiring berkembangan waktu Jayengrono menjadi kuat serta makin mandiri sehingga mengancam kedaulatan Majapahit. Untuk menaklukkan Jayengrono diutuslah Sawunggaling yang menguasai ilmu Sura.
Pertempuran itu berlangsung di dekat Peneleh tepatnya di Kali Mas. Selama tujuh hari tujuh malam pertempuran itu berlangsung secara tragis, keduanya terpaksa meninggal karena kehabisan tenaga. Secara filosofis kata ‘Surabaya’ sering diartikan sebagai lambing pertempuran antara darat dan air, antara tanah dan air. Adapula yang menyebutkan bahwa kata Surabaya berasal dari mitos ikan Suro dan Boyo yang mencuatkan dugaan bahwa nama Surabaya ada setelah terjadinya peristiwa peperangan antara Suro dan Boyo tersebut.
Baca juga:
Agar tidak ada kesimpang-siuran dalam masyarakat maka Walikotamadya atau Kepala Daerah Tingkat II Surabaya, yang dijabat oleh Bapak Soeparno, mengeluarkan Surat Keputusan No. 64/WK/75 tentang penetapan hari jadi kota Surabaya. Surat Keputusan tersebut berisi bahwa pada tanggal 31 Mei 1293 diperingati sebagai hari jadi kota Surabaya. Bahkan orang Jawa pun percaya bahwa nama Surabaya berasal dari kata “sura ing bhaya” yang memiliki arti “keberanian menghadapi bahaya” hingga sekarang simbol patung itu masih ada di depan Kebun Binatang Surabaya sebagai tempat wisata.
Nama Kota Surabaya sudah ada sejak awal masa kerajaan Majapahit. Nama Surabaya tercipta dari gabungan kata Sura dan Baya, nama dua binatang yang bertempur. Kedua ikon tersebut digunakan menggambarkan peristiwa yang terjadi di Ujung Galuh (nama daerah Surabaya pada zaman dulu), yakni pertempuran antara tentara yang dipimpin Raden Wijaya dengan pasukan tentara Tar Tar pada tanggal 31 Mei 1293. Tanggal tersebut kemudian dikenal sebagai hari lahirnya Kota Surabaya. (Baca juga: Sejarah Radio)
Awalnya Surabaya hanya perkampungan atau pedesaan di pinggiran sungai. Secara geografis dapat dilihat bahwa Surabaya merupakan kawasan yang berada di dekat laut dan aliran sungai besar (Brantas, dengan anak kalinya). Nama-nama kampung yang kini masih ada seperti Kaliasin, Kaliwaron, Kalidami, Ketabangkali, Kalikepiting, Darmokali, dan sebagainya menjadi bukti yang menjelaskan bahwa kawasan Surabaya adalah kawasan yang memiliki banyak aliran air dan sungai.
Surabaya terlelak di pinggir pantai, wilayah yang menjadi arus lalu lintas manusia dari berbagai wilayah dan daerah. Pada tahun 1612 Surabaya sudah merupakan bandar perdagangan yang ramai. Surabaya sebagai kota pelabuhan memiliki fungsi yang sangat penting bagi kehidupan masyarakatnya. Saat itu sungai Kalimas merupakan sungai yang dipenuhi perahu-perahu yang berlayar menuju pelosok Surabaya. Surabaya, menjadi pusat bertemunya orang Jawa dengan orang dari luar daerah. (Baca juga: Sejarah Olahraga di Indonesia)
Banyak pedagang Portugis membeli rempah-rempah dari pedagang pribumi. Saat itu, kota ini digunakan sebagai penimbun barang-barang di bawah kuasa Trunojoyo. Kemudian untuk membawa barang-barang berharga dari pedalaman, mereka memanfaatkan sungai Kali Mas sebagai jalur transportasinya.
Sejarah Kota Surabaya Sebelum Datangnya Penjajah Belanda
Konon Surabaya adalah gerbang Kerajaan Majapahit yang muaranya di Kali Mas. Pada 31 Mei 1293 menjadi kemenangan pasukan Majapahit melawan Kerajaan Mongol utusan Kubilai Khan namun pada tanggal tersebut dijadikan sebagai hari jadi kota Surabaya. Pasukan dari Raden Wijaya yang datang dari darat ini disimbolkan sebagai Baya (buaya atau bahaya). Sedangkan pasukan Mongol yang datang dari laut disimbolkan sebagai ikan Sura (ikan hiu yang berani). Sehingga apabila diartikan secara harfiah yaitu berani menghadapi bahaya yang datang mengancam. Pada hari kemenangan itulah diperingati sebagai hari jadi Kota Surabaya. (Baca juga: Sejarah Burung Garuda)Saat abad ke-15, Kota Surabaya agama Islam mulai menyebar dengan pesat. Sunan Ampel yang merupakan satu diantara anggota dari walisongo, mendirikan masjid dan pesantren di wilayah Ampel. Pada tahun 1530, Surabaya menjadi salah satu bagian dari Kesultanan Demak. Surabaya menjadi sasaran utama penaklukan Kesultanan Mataram setelah runtuhnya Kesultanan Demak. Pasukan Senopati menyerbu pada tahun 1598, diserang habis-habisan oleh Panembahan Seda ing Krapyak pada tahun 1610, kemudian diserang Sultan Agung pada tahun 1614. (Baca juga: Sejarah Alat Musik Angklung)
Puncaknya pemblokan aliran Sungai Brantas oleh Sultan Agung yang akhirnya memaksa Surabaya untuk menyerah. Pasukan Trunojoyo dari Madura dapat merebut Surabaya tahun 1675, namun pada akhirnya harus didepak VOC tahun 1677. Dalam perjanjian pada tanggal 11 November 1743 antara VOC dan Paku Buwono II menyatakan bahwa Surabaya diserahkan kepemimpinannya kepada VOC. (Baca juga: Sejarah Gitar)
Serajah Kota Surabaya pada Zaman Hindia Belanda
Tahukah Anda bahwa nama Kota Surabaya sudah ada sejak Zaman Hindia Belanda? Sejak zaman penjajahan nama kota Pahlawan sudah ada dan bahkan masyarakat telah mengenalnya. Berikut akan dijelaskan lebih rinci mengenai sejarahnya.Awalnya Kota Surabaya adalah ibu kota Keresidenan Surabaya pada zaman Hindia Belanda tepatnya saat colonial di negara ini. Wilayah-wilayahnya meliputi yang sekarang menjadi Kabupaten Jombang, Sidoarjo, Gresik dan Mojokerto. Baru setelah 1905 Surabaya menjadi kota madya atau yang disebut Gemeente. (Baca juga: Sejarah Sepak Bola)
Dan Surabaya akhirnya dijadikan sebagai ibu kota Provinsi Jawa Timur tahun 1926. Surabaya berkembang sangat pesat menjadi kota modern terbesar kedua setelah Batavia atau sekarang dikenal sebagai Jakarta. Tahun 1900 Surabaya hanya berpusat di sekitar Jembatan Merah namun setelah tahun 1920-an pemukiman berkembang seperti Gubeng, Sawahan, Darmo dan Ketabang. Baru tahun 1917 fasilitas-fasilitas seperti pelabuhan mulai didirikan di kota ini.
Baca juga:
Sejarah Kota Surabaya Menurut Cerita Rakyat
Baca juga:
Namun Surabaya sendiri diyakini oleh para ahli telah ada pada tahun-tahun sebelum prasasti dan sumber tersebut dibuat. Surabaya didirikan oleh Raja Kertanegara tahun 1275 silam, sebagai pemukiman baru bagi para prajuritnya yang telah berhasil menumpas pemberontakan Kemuruhan tahun 1270 M. Kejadian ini pun termuat dalam karya GH Von Faber.
Sumber lainnya menuliskan nama Surabaya berkait erat dengan cerita mengenai perkelahian hidup dan mati antara Adipati Jayengrono dan Sawunggaling. Menurut cerita, setelah mengalahkan tentara Tar Tar (dari Mongol), Raden Wijaya yang merupakan raja pertama Kerajaan Majapahit, mendirikan kraton di Ujung Galuh, yang sekarang adalah kawasan pelabuhan Tanjung Perak, dan menempatkan Adipati Jayengrono untuk memimpin daerah itu. Semakin lama Jayengrono makin kuat karena sudah menguasai ilmu Buaya, lalu ia mengancam kedaulatan Kerajaan Majapahit. Agar bisa menaklukkan Jayengrono, diutuslah Sawunggaling yang menguasai ilmu Sura. Adu kesaktian berlangsung di Sungai Kali Mas di dekat Paneleh. Pertempuran adu kesaktian itu berlangsung hingga tujuh hari tujuh malam dan berakhir tragis, keduanya meninggal akibat kehabisan tenaga. (Baca juga: Sejarah Jembatan Ampera)
Versi lainnya, kata Surabaya berasal dari sebuah mitos perkelahian antara ikan Suro dn Buaya, atau biasa disebut sebagai lambing antara darat dan laut. Hingga saat ini peristiwa itu diabadikan dalam monumen yang ada di Kebun Binatang Surabaya berada di Jalan Setail Surabaya. Versi terakhir kat Surabaya sendiri ada pada tahun 1975, yaitu saat Walikota Surabaya yang dulu, Soeparno menetapkan tanggal 31 Mei 1293 sebagai hari jadi Kota Surabaya. Hal ini berarti tahun 2005 Surabaya sudah berusia 712 tahun. Hal ini ditentukan berdasar kesepakatan para sejarawan yang dibentuk pemerintah kota bahwa nama Surabaya berasal dari kata sura ing bhaya yang berarti keberanian menghadapi bahaya.
Dalam buku-buku cerita sering diceritakan terdapat Ikan Hiu Sura dan Buaya yang selalu melakukan pertempuran. Mereka berkelahi hanya karena berebut mangsa. Keduanya sama-sama kuat, sama-sama tangkas, cerdik, ganas dan sama-sama rakus. Hampir setiap hari mereka berkelahi namun belum pernah ada yang menang atau pun yang kalah. Hingga pada akhirnya mereka mengadakan kesepakatan. (Baca juga: Sejarah Runtuhnya Bani Ummayah)
Pertarungan kali ini semakin sengit dan dahsyat. Saling menjatuhkan dan menerkam, saling menggigit dan memukul. Hanya dalam sesaat, air di sungai itu berubah merah akibat darah yang keluar dari luka-luka Suro dan Buaya. Mereka terus bertarung mati-matian tanpa istirahat sedikit pun. Dalam pertarungan bersejarah ini, Buaya memperoleh gigitan Hiu Sura pada pangkal ekornya sebelah kanan. Lalu, ekornya itu terpaksa selalu membengkok ke kiri. Ikan Sura akhirnya ekornya digigit Buaya hingga hampir putus, lalu ikan Sura mundur ke lautan. Buaya merasa puas karena dapat mempertahankan daerahnya.
Pertarungan antara ikan Hiu yang bernama Sura dan Buaya ini sangat berkesan di hati masyarakat Surabaya. Oleh sebab itu, nama Surabaya sering dihubungkan dengan peristiwa tersebut. Dari peristiwa inilah kemudian dibuat lambang Kota Surabaya yaitu gambar “ikan sura dan buaya”.
Baca juga:
0 komentar:
Posting Komentar