Kabupaten Nunukan terbentuk berdasarkan UU Nomor 47 tahun 1999 tentang pembentukan Kabupaten Kutai barat, Kutai Timur, Kota Bontang, Kabupaten Malinau dan Kabupaten Nunukan. Pembentukan Kabupaten Nunukan meliputi 5 Kecamatan Nunukan, Sebatik, Sembakung, Lumbis dan Krrayan yang ditandai dengan dilantiknya Pejabat Bupati Nunukan pada tanggal 12 Oktober1999, Drs Bustaman Arham.
Setelah pelantikan Bupati Nunukan, dilakukan persiapan penataan perangkat pemerintah daerah dan pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Tanggal 25 Desember 1999, dilantik 14 orang pejabat pada eselon 2, 3, 4 untuk mengisi jabatan struktural. Tiga hari setelah pelantikan pejabat struktural ini, tepatnya tanggal 28 Desember 1999 dilanjutkan dengan pelantikan 20 orang anggota legislatif Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Nunukan hasil pemilihan umum tahun 1999. Para legislator tersebut berasal dari Partai Golongan Karya (PG), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Amanat Nasional. Sebagai ketua DPRD H.Mansyur Husin, didampingi Drs.H.Ngatijan Achmadi, Muslimin,SH dan Mayor Samuji.
Tahun 2001 dilakukan pemilihan Bupati dan Wakil Bupati untuk pertama kalinya. Ada lima pasangan calon yang ikut dalam pemilihan yaitu Drs.H.Bustaman Arham - H.Ali Karim , Drs.Aseng Gusti Nuch - H.Arsyad Talib,SE, H.Abdul Hafid Achmad - Drs.Kasmir Foret,MM . Pemilihan yang berlangsung di DPRD Nunukan berlangsung cukup tegang, meskipun tetap aman dan terkendali. Hasilnya, terpilih pasangan H. Abdul Hafid Achmad dan Drs. Kasmir Foret, MM sebagai Bupati dan Wakil Bupati Nunukan periode 2001-2006, keduanya dilantik pada tanggal 30 Mei 2001 di gedung ACMY oleh Gubernur Kaltim Suwarna Abdul Fatah.
Periode pertama dapat dilalui dengan meletakkan dasar-dasar pembangunan Kabupaten Nunukan. Sekertaris Daerah Drs.Budiman Arifin,Msi setelah terpilih sebagai Bupati Bulungan, digantikan oleh Drs.Zainuddin.HZ,MSI. Program pembangunan terus digenjot, anggaran pembangunan terus meningkat sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan pembangunan. Pemilu legislatif tahun 2004 telah memperkaya nuansa dan keragaman parpol anggota DPRD nunukan. Partai Golkar 8 kursi, PBB 7, PDIP 3 kursi, PPP 2 kursi, PAN, PDS, PKB, PDK dan Partai Demokrat masing-masing 1 kursi. Terpilih sebagai ketua Drs.H.Ngatijan Achmadi,Msi, wakil ketua Muhammad Saleh dan Abdul Wahab Kiak.
Perjalanan pemerintahan semakin baik, sarana dan prasarana pelayanan seperti perkantoran, bidang pendidikan dan kesehatan, perhubungan dan transportasi, mulai berkembang baik. Jumlah Kecamatan bertambah menjadi sembilan Kecamatan setelah terbentuknya Kecamatan Sebuku, Krayan Selatan, Sebatik Barat dan Nunukan Selatan. Gerak dinamika pembangunan terus berjalan, sampai tahun 2006 kembali berlangsung pesta Demokrasi melalui Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati yang dipilih secara langsung oleh rakyat.
Empat pasangan calon ikut berkompetensi, yaitu H.Abdul Hafid Achmad - Kasmir Foret, Asmah Gani - M.Syawal Pamulang, Mashur Alias - Yepta Bertho, Ir.Yakub - H.Arifuddin Ali. Dari hasil pemilihan langsung oleh rakyat, akhirnya pasangan H.Abdul Hafid Acmad - Drs.Kasmir foret,MM kembali mendapat amanah rakyat memimpin Nunukan 2006 - 2011, kembali di lantik oleh gubernur kaltim Suwarna AF tanggal 31 Mei 2006 di Gedung DPRD Nunukan.
Mendekati satu dasawarsa kabupaten Nunukan tahun 2009 , kembali berlangsung pesta Demokrat pemilihan anggota legislative . 25 anggota DPRD terpilih , 10 dari PBB , 3 dari Demokrat , 3 dari golkar , 2 dari PAN dan PKS , dan PDIP , Gerindra , 1 PPRN . terpilih sebagai ketua adalah NArdi Azis dari partai Bulan Bintang di dampingi 2 wakil ketua Ruman Tumbo SH dari partai Demokrat dan Drs H Ngatijan Achmadi,MSi dari partai Golongan karya.
ur. All Rights Reserved
Ini bukan kali pertama saya menginjakkan kaki di daerah perbatasan Indonesia dan Malaysia di Pulau Kalimantan. Tapi yang membuat kabupaten Nunukan menarik adalah letak geografisnya. Nunukan merupakan sebuah pulau kecil yang terpisah dari pulau utama Kalimantan namun masuk dalam provinsi Kalimantan Timur. Untuk menuju ke sana, saya naik pesawat Sriwijaya Air dari Jakarta sampai Balikpapan. Setelah itu, dilanjutkan dengan Susi Air dari Balikpapan sampai Tarakan, kemudian Tarakan sampai Nunukan—semuanya di hari yang sama.
Tidak banyak yang bisa dilihat di kota Nunukan sendiri (sebagai informasi, nama ibukota kabupaten dan kabupatennya sama). Kebanyakan hanya toko-toko kecil sepi dan rumah penduduk. Namun, ketika menuju komplek gedung-gedung pemerintahannya, mereka boleh bangga. Semua gedung pemerintahan di Nunukan, seperti kantor dinas atau bupati, rata-rata seperti “istana”. Gedungnya besar dan megah dengan taman luas. Buat saya, rasanya aneh melihat pemandangan komplek gedung mewah ini di atas bukit yang sepi dengan kota berpenduduk jarang (sekitar hanya sepuluh jiwa per kilometer persegi).
Saat itu, tujuan saya ke Nunukan adalah untuk melakukan assessment sosial di wilayah hutan alam. Jadi, esok harinya perjalanan saya lanjutkan dengan perahu motor cepat selama 1,5 jam menuju Desa Sebuku. Paginya saya sempatkan mampir ke mini market samping hotel. Cemilan kemasan buatan Malaysia memenuhi rak. Semua tampak menggiurkan dan enak. Makanan-makanan ini pun dijual di warung-warung kecil pelabuhan Nunukan. Pelabuhan boleh jadi tempat paling trendi di Nunukan. Malam minggu pelabuhan penuh orang jualan, duduk-duduk melihat kapal antar propinsi dan antar negara berlabuh.
Oke, kembali ke tujuan saya ke Nunukan. Kenapa daerah itu yang dipilih? Sederhana. Alasannya adalah Gajah Nunukan atau pygmy elephant menetap di wilayah hutan alam yang saya datangi. Dilihat dari DNA, Gajah Nunukan berbeda dengan Gajah Sumatera, Afrika maupun Thailand. Belum ada teori pasti kenapa ada gajah di Kalimantan. Menurut catatan sejarah, gajah-gajah ini bisa jadi didatangkan sebagai upeti atau hadiah untuk raja pada zaman dahulu. Secara fisik, Gajah Nunukan lebih kecil dari Gajah Sumatera, berambut dan bertelinga kurang lebar.
Perjalanan perahu motor cepat ke Desa Sebuku terasa cepat, melewati perkebunan sawit di kanan dan kiri, hutan sekunder dan hutan bakau. Seorang kolega saya melihat pesut (mamalia air), sayangnya saya terlalu sibuk memotret hutan waktu itu. Sampai di Desa Sebuku, saya kaget mendapati perkebunan sawit sangat luas (sampai lima hektar ke dalam hutan). Saya deg-degan. Isu inilah yang akan saya tanyakan pada saat wawancara dengan masyarakat lokal di sana.
Saya menginap di kamp perusahaan pengelola hutan alam. Tempatnya bersih dan rapi. Esok pagi seusai sarapan saya menuju Desa Tabuh Lestari dan Samaenre. Mulai dengan naik perahu motor cepat selama 15 menit, kemudian dilanjutkan dengan ojek. Ini mungkin ojek termahal yang pernah saya gunakan. Rp70.000 sekali jalan. Bukan karena jauh, tapi bensin langka. Di Nunukan, Stasiun Pengisian Bahan Bakar (SPBU) buka hanya beberapa kali sebulan, kadang tidak buka sama sekali. Akhirnya, bensin dijual ilegal oleh masyarakat dengan harga Rp18.000 per botol minuman ukuran sedang, sekitar 600cc.
Sampai di desa, saya melakukan wawancara dengan beberapa tokoh desa dan mendapati fakta bahwa beberapa perusahaan sawit dan batu bara beroperasi di sekitar desa mereka. Pemerintah daerah juga sudah mengeluarkan cetak biru kota mandiri di dekat situ lengkap dengan SPBU, pusat perbelanjaan kecil, komplek perumahan, sekolah, dan sebagainya. Sungguh saya tak habis pikir. Selama ini bensin dijual ilegal di Nunukan karena langka, dan pemerintah mau buka lahan untuk kota mandiri dengan SPBU? Belum lagi bahan bakar perahu motor cepat yang harus dikeluarkan dari tengah kota ke daerah Desa Sebuku.
Sedih melihat hal-hal seperti ini harus terjadi di Indonesia, terutama di daerah perbatasan. Banyak kebun sawit milik masyarakat kita yang kemudian dijual ke Malaysia. Kesadaran mereka untuk menjaga hutan dan wilayah sekitar bisa dibilang kecil. Salah siapa?
0 komentar:
Posting Komentar