Indonesia
Kesultanan Bulungan atau Bulongan[1] adalah kesultanan yang pernah menguasai wilayah pesisir Kabupaten Bulungan, Kabupaten Tana Tidung, Kabupaten Malinau, Kabupaten Nunukan, Kota Tarakan dan Tawau,Sabah sekarang. Kesultanan ini berdiri pada tahun 1731, dengan raja pertama bernama Wira Amir gelar Amiril Mukminin (1731–1777), dan Raja Kesultanan Bulungan yang terakhir atau ke-13 adalah Datuk Tiras gelar Sultan Maulana Muhammad Djalalluddin (1931-1958).[2] Negeri Bulungan (Negeri Merancang) bekas daerah milik "negara Berau" yang telah memisahkan diri[3] sehingga dalam perjanjian Kesultanan Banjar dengan VOC-Belanda dianggap sebagai bagian dari "negara Berau" (Berau bekas vazal Banjar yang diserahkan kepada VOC-Belanda).[4][5] Pada kenyataannya sampai tahun 1850, Bulungan berada di bawah dominasi Kesultanan Sulu.[6]
Daftar isi
Sejarah Kerajaan Bulungan[sunting | sunting sumber]
Berdirinya Kerajaan Bulungan tidak dapat dipisahkan dengan mitos ataupun legenda yang hidup secara turun-temurun dalam masyarakat. Legenda bersifat lisan dan merupakan cerita rakyat yang dianggap oleh yang empunya cerita sebagai suatu kejadian yang benar-benar terjadi. Karena sifatnya yang tidak tertulis dan sering kali mengalami distorsi maka sering kali pula dapat jauh berbeda dengan kisah aslinya. Yang demkian itulah disebut dengan folk history (sejarah kolektif). Kuwanyi, adalah nama seorang pemimpin suku bangsa Dayak Hupan (Dayak Kayan) karena tinggal di hilir Sungai Kayan, mula-mula mendiami sebuah perkampungan kecil yang penghuninya hanya terdiri atas kurang lebih 80 jiwa di tepi Sungai Payang, cabang Sungai Pujungan. Karena kehidupan penduduk sehari-hari kurang baik, maka mereka pindah ke hilir sebuah sungai besar yang bernama Sungai Kayan.Suatu hari Kuwanyi pergi berburu ke hutan, tetapi tidak seekorpun binatang yang diperolehnya, kecuali seruas bambu besar yang disebut bambu betung dan sebutir telur yang terletak di atas tunggul kayu Jemlay. Bambu dan telur itu dibawanya pulang ke rumah. Dari bambu itu keluar seorang anak laki-laki dan ketika telur itu dipecah ke luar pula seorang anak perempuan. Kedua anak ini dianggap sebagai kurnia para Dewa. Kuwanyi dan istrinya memelihara anak itu baik-baik sampai dewasa. Ketika keduanya dewasa, maka masing-masing diberi nama Jauwiru untuk yang laki-laki dan yang perempuan bernama Lemlai Suri. Keduanya dikawinkan oleh Kuwanyi.
Kisah Jauwiru dan Lemlai Suri kini diabadikan dengan didirikannya sebuah Monumen Telor Pecah. Monumen tersebut terletak di antara Jl. sengkawit dan Jl. Jelarai, Kota Tanjung Selor, yang mengingatkan kita tentang cikal bakal berdirinya kesultanan Bulungan.
Bulungan, berasal dari perkataan Bulu Tengon (Bahasa Bulungan), yang artinya bambu betulan. Karena adanya perubahan dialek bahasa Melayu maka berubah menjadi “Bulungan”. Dari sebuah bambu itulah terlahir seorang calon pemimpin yang diberi nama Jauwiru. Dan dalam perjalanan sejarah keturunan, lahirlah kesultanan Bulungan. Setelah Kuwanyi wafat maka Jauwiru menggantikan kedudukan sebagai ketua suku bangsa Dayak (Hupan). Kemudian Jauwiru mempunyai seorang putera bernama Paran Anyi.
Paran Anyi tidak mempunyai seorang putera, tetapi mempunyai seorang puteri yang bernama Lahai Bara yang kemudian kawin dengan seorang laki-laki bernama Wan Paren, yang menggantikan kedudukannya. Dari perkawinan Lahai Bara dan Wan Paren lahir seorang putera bernama Si Barau dan seorang puteri bernama Simun Luwan. Pada masa akhir hidupnya, Lahai Bara mengamanatkan kepada anak-anaknya supaya “Lungun” yaitu peti matinya diletakkan di sebelah hilir [[sungai Kipah]]. Lahai Bara mewariskan tiga macam benda pusaka, yaitu ani-ani (kerkapan). Kedabang, sejenis tutup kepala dan sebuah dayung (bersairuk). Tiga jenis barang warisan ini menimbulkan perselisihan antara Si Barau dan saudaranya, Simun Luwan. Akhirnya Simun Luwan berhasil mengambil dayung dan pergi membawa serta peti mati Lahai Bara.
Karena kesaktian yang dimiliki oleh Simun Luwan, hanya dengan menggoreskan ujung dayung pada sebuah tanjung dari sungai Payang, maka tanjung itu terputus dan hanyut ke hilir sampai ke tepi Sungai Kayan, yang sekarang terletak di kampung Long Pelban. Di Hulu kampung Long Pelban inilah peti mati Lahai Bara dikuburkan. Menurut kepercayaan seluruh keturunan Lahai Bara, terutama keturunan raja-raja Bulungan, dahulu tidak ada seorangpun yang berani melintasi kuburan Lahai Bara ini, karena takut kutukan Si Barau ketika bertengkar dengan Simun Luwan. Bahwa siapa saja dari keturunan Lahai Bara bila melewati peti matinya niscaya tidak akan selamat. Tanjung hanyut itu sampai sekarang oleh suku-suku bangsa Dayak Kayan dinamakan Busang Mayun, artinya Pulau Hanyut.
Kepergian Simun Luwan disebabkan oleh perselisihan dengan saudaranya sendiri, saat itu merupakan permulaan perpindahan suku-suku bangsa Kayan, meninggalkan tempat asal nenek moyang mereka di sungai Payang menuju sungai Kayan, dan menetap tidak jauh dari Kota Tanjung Selor, ibu kota Kabupaten Bulungan sekarang. Suku bangsa Kayan hingga sekarang masih terdapat di beberapa perkampungan di sepanjang sungai Kayan, di hulu Tanjung Selor, di Kampung Long Mara, Antutan dan Pimping. Simun Luwan mempunyai suami bernama Sadang, dan dari perkawinan mereka lahir seorang anak perempuan bernama Asung Luwan. Asung Luwan kawin dengan seorang bangsawan dari Brunei, yaitu Datuk Mencang.
Sejak pemerintahan Datuk Mencang inilah timbulnuya kerajaan Bulungan. Datuk Mencang adalah salah seorang putera Raja Brunei di Kalimantan Utara yang telah mempunyai bentuk pemerintahan teratur. Datuk Mencang berlabuh di muara sungai Kayan Karena kehabisan persediaan air minum. Dengan sebuah perahu kecil Datuk Mencang dan Datuk Tantalani menyusuri sungai Kayan mencari air tawar, tetapi suku bangsa Kayan sudah siap menghadang kedatangan mereka. Mujur pihak Datuk Mencang dan Datuk Tantalani cukup bijaksana dapat mengatasi keadaan dan berhasil mengadakan perdamaian dengan penduduk asli sungai Kayan. Dari hasil perdamaian ini akhirnya Datuk Mencang kawin dengan Asung Luwan, salah seorang puteri keturunan Jauwiru.
Menurut legenda, lamaran Datuk Mencang atas Asung Luwan ditolak, kecuali Pangeran dari Brunei itu sanggup mempersembahkan mas kawin berupa kepala Sumbang Lawing, pembunuh Sadang, kakaknya. Melalui perjuangan, ketangkasan dan kecerdasan, akhirnya Datuk Mencang dapat mengalahkan Sumbang Lawing. Perang tanding dilakukan dengan uji ketangkasan membelah jeruk yang bergerak dengan senjata. Datuk Mencang lebih unggul dan meme-nangkan uji ketangkasan tersebut.
Setelah Asung Luwan menikah dengan datuk Mencang (1555-1594), berakhirlah masa pemerintahan di daerah Bulungan yang dipimpin oleh Kepala Adat/Suku, karena sejak Datuk Mencang memimpin daerah Bulungan, pemimpinnya disebut sebagai Kesatria/Wira.
Sultan Bulungan[sunting | sunting sumber]
Berikut adalah daftar Sultan Bulungan, daftar berikut masih belum sempurna, karena ada tahun yang hilang serta nama yang tidak diketahui.[7]Masa Pemerintahan Yang Dipimpin Oleh Seorang Kesatria/Wira[sunting | sunting sumber]
- Datuk Mencang (Seorang bangsawan dari Brunei), beristrikan Asung Luwan(1555-1594)
- Singa Laut, Menantu dari Datuk Mencang (1594-1618)
- Wira Kelana, Putera Singa Laut (1618-1640)
- Wira Keranda, Putera Wira Kelana (1640-1695)
- Wira Digendung, putra Wira Keranda (1695-1731)
- Wira Amir, Putera Wira Digendung Gelar Sultan Amiril Mukminin (1731-1777)
Masa Pemerintahan Yang Dipimpin Oleh Seorang Sultan[sunting | sunting sumber]
- Aji Muhammad/Sultan Alimuddin bin Muhammad Zainul Abidin/Sultan Amiril Mukminin/Wira Amir (1777-1817)
- Muhammad Alimuddin Amirul Muminin Kahharuddin I bin Sultan Alimuddin (jabatan ke-1) (1817-1861)
- Muhammad Jalaluddin bin Muhammad Alimuddin (1861-1866)
- Muhammad Alimuddin Amirul Muminin Kahharuddin I bin Sultan Alimuddin (jabatan ke-2) (1866-1873)
- Muhammad Khalifatul Adil bin Maoelanna (1873-1875)
- Muhammad Kahharuddin II bin Maharaja Lela (1875-1889)
- Sultan Azimuddin bin Sultan Amiril Kaharuddin (1889-1899).
- Pengian Kesuma (1899-1901). Ia adalah istri Sultan Azimuddin.
- Sultan Kasimuddin
- Datu Mansyur (1925-1930), Pemangku jabatan sultan
- Maulana Ahmad Sulaimanuddin (1930-1931) menikah dengan Tengku Lailan Syafinah binti alm. Tuanku Sultan Abdul Aziz Abdul Jalil Rakhmat Shah (Sultan Langkat)[8]
- Maulana Muhammad Jalaluddin (1931-1958)
Dalam tahun 1853, Bulungan sudah dimasukkan dalam wilayah pengaruh Belanda.[9]
Sampai tahun 1850, Bulungan berada di bawah Kesultanan Sulu.[6] Selama periode ini, kapal Sulu pergi ke Tarakan dan kemudian di Bulungan untuk perdagangan langsung dengan Tidung. Pengaruh ini berakhir pada 1878 dengan penandatanganan perjanjian antara Inggris dan Spanyol (Protokol Madrid 1885) yang dirancang untuk menghilangkan pengaruh Kesultanan Sulu.
Pada 1881, Perusahaan North Borneo Chartered dibentuk, yang sekarang merupakan wilayah Sabah, di bawah yurisdiksi Inggris, tetapi Belanda mulai menolak. Kesultanan itu akhirnya dimasukkan dalam pemerintahan Hindia Belanda pada tahun 1880-an. Orang Belanda menginstal sebuah pos pemerintah di Tanjung Selor pada tahun 1893. Pada tahun 1900-an, seperti banyak negara-negara kerajaan lain di kepulauan ini, Sultan terpaksa menandatangani Korte Verklaring, pernyataan "singkat" yang mengharuskan Sultan menjual sebagian besar kekuasaannya atas tanah hulu.
Orang Belanda akhirnya mengakui perbatasan antara dua wilayah hukum pada tahun 1915. Kesultanan ini dikenakan status sebagai wilayah Zelfbestuur, "administrasi sendiri", pada tahun 1928, seperti banyak kerajaan-kerajaan lain di Nusantara yang dikuasai Belanda.
Penemuan minyak oleh BPM (Bataafse Petroleum Maatschappij) di Pulau Bunyu dan Tarakan telah memberikan kontribusi sangat penting bagi perekonomian Bulungan, terutama untuk orang Belanda, menjadikan Tarakan sebagai pusat industri minyak pada saat itu.
Setelah pengakuan kemerdekaan Indonesia dari Kerajaan Belanda, wilayah Bulungan menerima status sebagai Wilayah Swapraja Bulungan atau "wilayah otonom" di Republik Indonesia pada tahun 1950, yaitu Daerah Istimewa setingkat kabupaten pada tahun 1955. Sultan terakhir, Jalaluddin, meninggal pada tahun 1958. Kesultanan Bulungan dihapuskan secara sepihak pada tahun 1964 dalam peristiwa berdarah yang dikenal sebagai Tragedi Bultiken (Bulungan, Tidung, dan Kenyah) dan wilayah Kesultanan Bulungan hanya menjadi kabupaten yang sederhana.
Tragedi Bultiken[sunting | sunting sumber]
Tragedi Bultiken adalah peristiwa pembantaian yang dilakukan oleh tentara Indonesia yang dipimpin oleh Letnan B.Simatupang, atas perintah Pangdam IX Mulawarman saat itu yaitu Brigadir Jendral Suhario terhadap para petinggi dan keluarga kerajaan Kesultanan Bulungan, serta aksi pembakaran istana Bulungan dan penjarahan serta perampasan harta benda milik Kesultanan Bulungan yang juga dilakukan oleh para tentara tersebut.Tragedi ini bermula pada subuh dinihari, Jumat, 3 Juli 1964, ketika sepasukan tentara dari satuan tempur Brawijaya 517 tiba-tiba mengepung istana Kesultanan Bulungan, dan berakhir setelah istana Bulungan yang bertingkat dua habis dibakar oleh para tentara tersebut selama dua hari dua malam hingga rata dengan tanah pada hari Jumat, 24 Juli 1964.
Selama terjadi pengepungan tersebut satu per satu bangsawan Bulungan diculik, ditangkap dan dibunuh. Puncaknya adalah ketika pada Sabtu malam, 18 Juli 1964, istana Raja Muda dibakar, dan Raja Muda Datu Mukemat diculik dan dieksekusi dilaut antara Tarakan dan Pulau Bunyu, dengan cara dia diikat dan diberi beban batu pemberat, selanjutnya ditembak dan dibuang kelaut.
0 komentar:
Posting Komentar