KERAJAAN BONE
Sejarah Kerajaan Bone
Kerajaan Bone terbentuk pada awal abad ke XIV atau pada tahun 1330, namun sebelum Kerajaan Bone terbentuk, sudah ada kelompok-kelompok dan pemimpinnya digelar Matoa.
Dengan datangnya TO MANURUNG Mata Silompo’E, maka terjadilah penggabungan kelompok-kelompok tersebut, termasuk Cina, Barebbo, Awangpone dan Palakka. Pada saat pengangkatan TO MANURUNG Mata Silompo’E, menjadi Raja Bone, Rakyat Bone bersumpah sebagai pertanda kesetiaan Rakyat kepada Raja, sekaligus sebagai pencerminan sifat Pemerintahan Kerajaan diawal berdirinya.
Sumpah yang diucapkan Oleh Penguasa Cina mewakili rakyat berbunyi :
“ANGIKKO KIRAUKKAJU, RIYAKOMMIRI, RIAKKENG MUTAPPALIRENG, ELO’MU ELO RIKKENG ADAMMUKUA, MATTAMPAKO KILAO, MMOLLIKO KISAWE, MELLAUKO KIABBERE, MAUNI ANAMMENG NAPATTAROMMENG REKKUA MUTEYAIWI KITEYATOI, NAEKIYA DONGIRIKKENG TEMMATIPPANG, AMPIRIKKENG TEMMAKARE MUSALIPURIKKENG TEMMADINGING”
Terjemahan bebas :
“ENGKAU ANGIN DAN KAMI DEDAUNAN, KEMANA BERHEMBUS KESITU KAMI MENURUT, KEMAUAN DAN KATA-KATAMULAH YANG JADI DAN BERLAKU ATAS KAMI. APABILA ENGKAU MENGUNDANG, KAMI DATANG, APABILA ENGKAU MEMANGGIL, KAMI MENYAMBUT, DAN APABILA ENGKAU MEMINTA KAMI MEMBERI WALAUPUN ANAK ISTERI KAMI JIKA TUANKU TIDAK SENANGI, KAMI PUN TIDAK MENYENANGINYA. TETAPI ENGKAU MENJAGA KAMI AGAR AMAN TENTRAM, ENGKAU MELINDUNGI KAMI AGAR MAKMUR SEJAHTERA, ENGKAU SELIMUTI KAMI AGAR TIDAK KEDINGINAN.
Demikianlah perjanjian penyerahan kekuasaan dan kepercayaan rakyat dengan suka rela kepada Rajanya. Disamping menyerahkan diri kepada Raja, juga terpatri pengharapan yang menjadi kewajiban Raja melaksanakan, yakni kewajiban mendatangkan keamanan dan terjaminnya keadilan serta kesejahteraan rakyat.
Sistem Pemerintahan Kerajaan Bone, senantiasa berdasarkan musyawarah mufakat. Hal ini dibuktikan dengan jelas kedudukan ketujuh Ketua Kaum (Matoa Anang) dalam satu majelis, dimana TO MANURUNG sebagai ketuanya, dan ketujuh Kaum itu diikat oleh suatu ikatan yang disebut Kawerang (Ikatan Persekutuan Tanah Bone) serta hal yang mengatur sistem Pemerintahan Kerajaan.
Sistem Kawerang ini berlangsung dari Raja Bone ke-I hingga Raja Bone ke IX Lapattawe Matinro’E Ri Bettung pada akhir abad ke-XVI.
Tahun 1605 dimasa Pemerintahan Raja Bone keX we Tenritappu Matinro’E Ri Sidenreng, Agama Islam mulai masuk di Kerajaan Bone, dan masa itu pulalah sebutan Matowa Pitu dirubah menjadi Hadat Tujuh (Ade Pitu) masing-masing; Tibojong, Ta, Tanete Riattang, Tanete Riawang Macege, Ponceng dan Ujung.
Latenri Ruwa Raja Bone ke- XI secara resmi menerima Agama Islam masuk di Kerajaan Bone, dan sejak itulah Agama Islam berkembang dengan pesat dan terkenal bahwa rakyat Bone penganut Agama Islam yang fanatik.
Demikian pula terhadap Raja Bone ke- XII, dan sejak itulah La Tenripale Matinro’E di Tallo dan Raja Bone ke-XIII La Maddaremmeng Matinro’E Ri Bukaka merupakan sosok Raja yang terkenal fanatik dalam ajaran Agama Islam.
Raja Bone ke-XV La Tenritatta Daeng Serang Malampe’E Gemmenna Arung Palakka dikenal sebagai Raja yang berprikemanusiaan. Berusaha meningkatkan harkat dan martabat Kerajaan Bone, bebas dari tekanan dan penindasan dari kerajaan-kerajaan lainnya, mampu mengadakan pendekatan dan komunikasi timbal balik dengan kerajaan lain sehingga terkenal dengan sebutan Raja Bugis ( de Koning Der Bugis ).
Raja Bone Ke – XVI La Patau Matanna Tikka MatinroE ri Nagauleng dikenal sebagai sosok penyiar dan pengembang Syiar Islam. Di giatkan pula penulisan Kitab pelajaran Agama Islam. Di masa Pemerintahan beliau, pengaruhnya sangat besar, tidak hanya terhadap Raja – raja bawahannya, tetapi juga Raja – raja di tanah Bugis seperti Soppeng, Sidenreng, Luwu dan lain-lain.
Raja Bone Ke – XXIII La Tenri Tappu adalah sosok Raja yang gemar akan kesenian dan taat melaksanakan Syariat Islam. Baginda berhasil menyusun sebuah buku pelajaran Tasawuf, yang oleh baginda diberi judul ” NURUL HADI “ merupakan Tasawuf yang mengupas soal kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan mendapat pengakuan dari ahli tasawuf dari Mekkah pada masanya.
Raja Bone Ke – XXX Fatimah Banri merupakan pencetus ide, yakni merubah model Baju ponco ( Baju Wanita ) yang berukuran sampai diatas lutut menjadi berukuran lebih menurun kebawah lutut sebagaimana yang dipergunakan sekarang, serta diusahakan pembinaan kesenian daerah seperti seni tari dan sebagainya.
Demikian pula pada masa pemerintahan Raja Bone Ke XXX tersebut dikenal cukup berhasil keadaan negeri aman tentram perekonomian maju dan lancar.
Raja Bone Ke – XXXI Lapawawoi Karaeng Sigeri adalah seorang Raja yang anti terhadap Belanda yang ingin menguasai sumber ekonomi rakyat, yang menjadi sumber penghasilan Kerajaan Bone.
Beberapa kali utusan Belanda menemui Raja, akan tetapi selalu ditolak, sebab Baginda sudah mengetahui taktik licik Belanda, ingin menguasai sumber ekonomi rakyat, lalu lintas perdagangan di Pelabuhan Bajoe dan Palime, untuk memungut bea cukai dengan alas an akan membantu mengurusi dan mengaturnya secara seksama.
Maksud Belanda tidak berhasil, maka pecahlah perang yang dahsyat. Belanda dengan tiga battalion tentara pilihan dengan persenjataan lengkap termasuk meriam, melancarkan serangan di Pantai Bajoe, namun Laskar Bone dengan gagah perkasa melakukan perlawanan sekalipun dengan persenjataan yang tidak seimbang.
Di dalam pertemupuran beberapa hari lamanya itu, ribuan Laskar Bone dan pihak belanda jatuh korban, termasuk Panglima Perang ( Dulung ) Ajangale dan beberapa perwira tinggi lainnya.
Raja Bone bersama Panglima tertinggi angkatan perangnya Andi Abdul Hamid alias Baso Pagilingi Petta PongawaE mundur kepegunungan hingga di Bulu Awo bilangan Pitumpanua Wajo.
Pasukan Belanda dalam pengejaran hingga ditempat tersebut, terjadilah pertempuran yang maha dahsyat, yang mengakibatkan gugurnya Petta pongawaE bersama pasukannya dan di Makamkan kembali di Desa Matuju Kecamatan Awangpone.
Sedang Raja Bone Ke – XXXI Lapawawoi Karaeng Sigeri ditangkap dan dibawa ke Pare – Pare selanjutnya diasingkan Bandung dan Baginda mangkat di Bandung. Kemudian pada tahun 1974 kerangka jenasahnya dipindahkan dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta dalam suatu upacara meliter dan upacara kebesaran adat.
Dengan jatuhnya Kerajaan Bone ketangan Belanda maka dikenal dalam sejarah RUMPA’NA BONE tahun 1905.
Setelah 26 tahun kemudian atau tahun 1931 dinobatkanlah Andi Mappanyukki sebagai Raja Bone Ke- XXXII dengan gelar Sultan Ibrahim.
Baginda cukup berwibawa dan mempunyai harga diri. Baginda tidak mau begitu saja didikte oleh Belanda, tidak segan- segan membela kepentingan rakyat walauoun harus berhadapan dengan Belanda. Belanda sangat berhati-hati Baginda, namun menghormati sikap dan pendirian Raja.
Tahun 1944 ketika tentara Jepang semakin terdesak oleh sekutu, Jepang berusaha mengajak rakyat untuk membela tanah airnya. Jika di Pulau Jawa dan daerah lainnya terbentuk suatu wadah yang menghimpun rakyat untuk mencapai kemerdekaan, maka di Tanah Bone pun dibentuk suatu organisasi yang dikenal dengan SUDARA singkatan dari SUMBER DARAH RAKYAT.
SUMBER DARAH RAKYAT ini dibentuk, adalah merupakan persiapan badan perjuangan yang sesunggunhya bertujuan mencegah kembali penjajahan Belanda di Indonesia.
Perjuangan Andi Mappanyukki dalam menentang penjajah tidak diragukan lagi, demikian pula gigihnya mempertahankan kemerdekaan yang ditandai dengan pernyataan sikap dan pendirian Raja serta Rakyat Bone tetap berdiri dibelakang Pemerintah RI yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Atas penarikan diri Raja Bone XXXII Andi Mappanyukki dari tahta kerajaan, akhirnya atas permufakatan Anggota Hadat Tujuh, memilih Andi Pabbenteng Petta Lawa menjadi Raja Bone Ke-XXXIII, yang merupakan Putra dari Panglima Tertinggi Kerajaan Bone Petta PongawaE.
Dua tahun kemudian yakni pada tanggal 1 November 1948 atas kesepakatan Raja-raja di Sulawesi selatan, mengangkat Andi Pabbenteng Petta Lawa menjadi Ketua Dewan Adat Tinggi Sulawesi selatan, dan wakilnya di tunjuk Raja Gowa Andi Ijo Karaeng Lalolang.
Pada bulan Mei 1950, untuk pertama kalinya selama Kerajaan Bone terbentuk, dan berdiri diawal abad ke – XIV tahun 1330 terjadi suatu demonstrasi rakyat di Kota Watampone yang menuntut dibubarkannya Negara Indonesia Timur, dihapuskannya Pemerintah Kerajaan dan menyatakan berdiri dibelakang Pemerintah RI.
Tanggal 21 Mei 1950 terbentuklah Komite Nasioanal Indoneisa ( KNI ) Daerah Bone . Setelah Pelantikan KNI maka terjadilah peristiwa penyerahan kekuasaan Legislatif dari Pemerintahan Kerajaan kepada KNI, dan beberapa hari kemudian para anggota Hadat Tujuh mengajukan permohonan berhenti.
Demikianlah perjalanan panjang Kerajaan Bone hingga memasuki masa kemerdekaan. Hingga saat ini senantiasa memperlihatkan kemajuan yang menggembirakan.
Sampai saat ini tercatat sejumlah 14 Kepala Daerah yang diberi kepercayaan untuk mengembang amanah Pemerintah di Tanah Bone masing- masing Andi Pangeran Petta Rani, Ma’mun Daeng Mattoro, Andi Mappanyukki, Andi Suradi, Andi Jamuddin, Andi Tjatjo, Andi Baso Amir, Haji Suaib, Haji P.B Harahap, Haji Andi Madeali, H. Andi Sjamsu Alam, H. Andi Syamsoel Alam, H. Andi Muhammad Amir dan Haji Andi Muhammad Idris Galigo,SH.
Daftar Arumpone Bone
Matasilompoé [Manurungngé ri Matajang] (1392-1424)
La Umassa Petta Panré Bessié [ Petta Paladeng - Arung Labuaja ] Matinroe Ri Bengo [To' Mulaiyé Ranreng] (1424-1441)
La Saliyu Karampéluwa/Karaéng Pélua'? [Pasadowakki] (1441-1470)
We Ban-ri Gau Daéng Marawa Arung Majang Makaleppié Bisu-ri Lalengpili Petta-ri La Welareng [Malajangngé ri Cina] (1470-1490)
La Tenri Sukki Mappajungngé (1490-1517)
La Uliyo/Wuliyo Boté'é [Matinroé-ri Itterung] (1517-1542)
La Tenri Rawe Bongkangngé [Matinroé-ri Gucinna] (1542-1584)
La Icca'/La Inca' [Matinroé-ri Adénénna] (1584-1595)
La Pattawe [Matinroé-ri Bettung] (15xx - 1590)
We Tenrituppu [Matinroé ri Sidénréng] (
1590-
1607)
La Tenrirua [Matinroé ri Bantaéng] (
1607-
1608)
La Tenripalé [Matinroé ri Tallo] (
1608-
1626)
La Ma'daremméng Matinroé ri Bukaka (
1626-
1643)
Tobala', Arung Tanété Riawang, dijadikan
regent oleh
Gowa (
1643-
1660)
La Ma'daremméng Matinroé ri Bukaka (
1667-
1672)
-
La Patau Matanna Tikka Walinonoé To Tenri Bali Malaé Sanrang Petta Matinroé ri Nagauléng (
1696-
1714)
Batari Toja Daéng Talaga Arung Timurung Datu-ri Citta Sultana Zainab Zakiyat ud-din binti al-Marhum Sultan Idris Azim ud-din [Matinroé-ri Tippuluna] (1714-1715) (masa jabatan pertama)
La Padassajati/Padang Sajati To' Apaware Paduka Sri Sultan Sulaiman ibni al-Marhum Sultan Idris Azim ud-din [Matinroé-ri Béula] (1715-1720)
Bata-ri Toja Daéng Talaga Arung Timurung Datu-ri Citta Sultana Zainab Zakiat ud-din binti al-Marhum Sultan Idris Azim ud-din [Matinroé-ri Tippuluna] (1715) (masa jabatan kedua)
La Pareppa To' Aparapu Sappéwali Daéng Bonto Madanrang Karaéng Anamonjang Paduka Sri Sultan Shahab ud-din Ismail ibni al-Marhum Sultan Idris Azim ud-din (1720-1721). Ia menjadi Sultan Gowa [Tumamenanga-ri Sompaopu], Arumpone Bone, dan Datu Soppeng.
I-Mappaurangi Karaéng Kanjilo Paduka Sri Sultan Siraj ud-din ibni al-Marhum Sultan 'Abdu'l Kadir (1721-1724). Menjadi Sultan Gowa dengan gelar Tuammenang-ri-Pasi dan Sultan Tallo dengan gelar Tomamaliang-ri Gaukana.
La Panaongi To' Pawawoi Arung Mampu Karaéng Biséi Paduka Sri Sultan 'Abdu'llah Mansur ibni al-Marhum Sultan Idris Azim ud-din [Tuammenang-ri Biséi] (1724)
Batari Toja Daéng Talaga Arung Timurung Datu-ri Citta Sultana Zainab Zakiat ud-din binti al-Marhum Sultan Idris Azim ud-din [Matinroé-ri Tippuluna] (1724-1738) (masa jabatan ketiga)
I-Danraja Siti Nafisah Karaéng Langelo binti al-Marhum (1738-1741)
Batari Toja Daéng Talaga Arung Timurung Datu-ri Citta Sultana Zainab Zakiat ud-din binti al-Marhum Sultan Idris Azim ud-din [Matinroé-ri Tippuluna] (1741-1749) (masa jabatan keempat)
La Temmassogé Mappasossong To' Appaware' Petta Paduka Sri Sultan 'Abdu'l Razzaq Jalal ud-din ibni al-Marhum Sultan Idris Azim ud-din [Matinroé ri-Malimongang] (1749-1775)
La Tenri Tappu To' Appaliweng Arung Timurung Paduka Sri Sultan Ahmad as-Saleh Shams ud-din [Matinroé-ri-Rompégading] (1775-1812)
La Mappatunru To Appatunru' Paduka Sri Sultan Muhammad Ismail Muhtajuddin [Matinroé-ri Laleng-bata] (1812-1823)
I-Manéng Paduka Sri Ratu Sultana Salima Rajiat ud-din [Matinroé-ri Kassi] (1823-1835)
La Mappaséling Paduka Sri Sultan Adam Nazim ud-din [Matinroé-ri Salassana] (1835-1845)
La Parénréngi Paduka Sri Sultan Ahmad Saleh Muhi ud-din [Matinroé-ri Aja-bénténg] (1845-1858)
La Pamadanuka Paduka Sri Sultan Sultan Abul-Hadi (1858-1860)???
La Singkeru Rukka Paduka Sri Sultan Ahmad Idris [Matinroé-ri Lalambata] (1860-1871)
I-Banri Gau Paduka Sri Sultana Fatima [Matinroé-ri Bola Mapparé'na] (1871-1895)
La Pawawoi Karaéng Sigéri [Matinroé-ri Bandung] (1895-1905)
Haji Andi Bacho La Mappanyuki Karaéng Silaja/Selayar Sri Sultan Ibrahim ibnu Sri Sultan Husain (1931-1946) (masa jabatan pertama)
Andi Pabénténg Daéng Palawa [Matinroé-ri Matuju] (1946-1950)
-
Arung Bocco Petta Daru / Petta Pangulu / Petta Ponggawa / Petta Paladeng [MatinroE-ri Bengo] (1827-1904) (setelah wafat tidak ada mangkau di bone selama 20 thn)
Ratu Bessi Kejora Saudara Kandung Dari Arung Bocco Petta Pangulu / Petta Ponggawa / Petta Paladeng
MatinroE-ri Kajuara ) (Adalah keturunan Langsung Dari Almarhum Jendral M.Yusuf)"
Runtuhnya Kerajaan Bone
Perlawanan Rakyat Bone terhadap Belanda pada tahun 1905 dikenal dengan nama RUMPA’NA BONE. Istilah RUMPA’NA BONE berasal dari pernyataan Raja Bone ke-31 Lapawawoi Karaeng Sigeri sendiri ketika menyaksikan secara langsung Petta Ponggawae (putranya sendiri) gugur diterjang peluru tentara Belanda. Hal ini diungkapkan dengan kalimat Bugis yang kental “ RUMPA’NI BONE” (Bobollah Bone). Maka dengan gugurnya Petta Ponggawae sebagai Panglima Kerajaan waktu itu, maka Lapawawoi Karaeng Sigeri beranggapan bahwa benteng pertahanan Kerajaan Bone telah bobol dan dikatakanlah “RUMPA’NI BONE
Lapawawoi Karaeng Sigeri bersama putranya Abdul Hamid Baso Pagilingi yang populer dengan nama Petta Ponggawae menunjukkan kepahlawanannya dalam perang Bone melawan Belanda tahun 1905. Pendaratan tentara Belanda secara besar-besaran beserta peralatan perang yang sangat lengkap di pantai Timur Kerajaan Bone (ujung Pallette-BajoE-Ujung Pattiro), disambut dengan pernyataan perang oleh Raja bone tersebut. Tindakan penuh keberanian ini dilakukan setelah mendapat dukungan penuh dari anggota Hadat Tujuh serta Seluruh pimpinan Laskar Kerajaan Bone.
Salah satu putra terbaik Tana Bone dalam peristiwa heroik itu adalah Arung Ponre, La Semma Daeng Marola atau lebih dikenal dengan nama Anre Guru Semma. Dia berasal dari Watapponre, yaitu sebuah perkampungan tua yang dahulu menjadi pusat pemerintahan “kerajaan” Ponre. Pada jaman dahulu ketika Kerajaan Bone belum terbentuk, Ponre adalah sebuah kerajaan kecil yang dipimpin oleh seorang Matowa atau Arung seperti halnya kerajaan-kerajaan kecil lain yang kemudian sama-sama melebur dalam kerajaan Bone pada masa pemerintahan Raja Bone ke-3 yaitu Lasaliyu Karampeluwa (1424–1496). Letaknya berada di puncak Bulu Ponre, sebuah gunung yang berada tepat ditengah-tengah antara Palakka, Ulaweng Bengo, Lappa Riaja, Libureng, Mare, Cina dan Barebbo, saat ini.
Selama kurang lebih lima bulan (Juli-November) Daeng Marola senantiasa mendampingi Lapawawoi Karaeng Sigeri bersama Petta Ponggawae melakukan perlawanan dengan taktik gerilya secara berpindah-pindah mulai dari Palakka, Pasempe, Gottang, Lamuru, dan Citta di daerah Soppeng hingga ke pusat pertahanan terakhir Bulu Awo (perbatasan Siwa dengan Tanah Toraja), tempat gugurnya Petta PonggawaE.
Dalam hikayat Rumpa’na Bone yang terkenal itu, disebutkan bahwa ketika para pimpinan laskar kerajaan Bone seperti Daeng Matteppo’ Arung Bengo dari Bone Barat, Daeng Massere Dulung Ajangale dari Bone Utara, dan Arung Sigeri Keluarga Arungpone serta sejumlah Pakkanna Passiuno lainnya gugur dalam pertempuran melawan armada belanda yang sangat lengkap persenjataannya, laskar Bone dibawah komando Panglima Perang Petta Ponggawae terdesak mundur dan bertahan di Cellu. Pertempuran berlangsung sangat sengit. Dentuman meriam-meriam Belanda disambut dengan tombak, parang, badik dan persenjataan seadanya oleh Laskar Bone. Keberanian laskar bone menyabung nyawa membuat serdadu belanda merinding. Tidak sedikit serdadu belanda yang tewas. Dalam pertempuran ini, Daeng Marola mengukir sejarah dengan keberaniannya yang pantang mundur sejengkalpun. Konon, dia hanya memilik tiga butir peluru, namun setiap kali ditembakkan, moncong senjatanya kembali berisi seolah tak pernah kehabisan peluru untuk menewaskan si Mata Pute, Belanda.
Pertempuran terus berlangsung. Panglima Kerajaan Bone Petta Ponggawae terus mengobarkan semangat perlawanan sambil terus meramu taktik agar Tanah Bone dapat tetap dipertahankan. Satu demi satu lascar kerajaan bone gugur sebagai pahlawan Tana Ugi. Daeng Marola pun akhirnya terluka lalu di tandu menuju Seroja (istana) tempat Mangkau (Raja) berada. Melihat kenyataan itu, Petta ponggawae segera mengirim pesan ke Istana agar kiranya Mangkau segera meninggalkan istana dan berlindung ke Palakka. Sang Raja menerima pesan tersebut dan mempertimbangkan segala sesuatunya. Terbayang nasib negeri Bone tercinta jika harus ditinggalkannya. Ia menantap permaisuri menunggu pertimbangan. Daeng Marola pun telah tiba di Istana. Setelah beberapa saat, Sang Mangkau lalu meminta pertimbangan Daeng Marola tentang isi pesan dari Petta Ponggawae. Dengan hormat Daeng Marola menyampaikan bahwa laskar Bone sulit untuk membendung serangan Belanda. Kekuatan persenjataan sungguh sangat tidak seimbang, perlu perubahan taktik dan starategi untuk bisa terus melawan. Daeng Marola memahami dan merasakan kegalauan sang Raja. Diyakinkannyalah Sang Raja bahwa Mundur bukan berarti kalah tetapi mundur selangkah untuk maju seribu kali.
Setelah menyimak pandangan yang diberikan oleh Daeng Marola, sedikit tenanglah kembali hati sang Raja. Persiapan segera dilakukan. Para pengawal telah siaga untuk melindungi perjalanan Sang Raja beserta keluarga menuju Palakka. Pada tanggal 30 Juli 1905 tentara Belanda berhasil merebut Saoraja (Istana Raja) di Watampone dan menjadikannya sebagai basis pertahanannya.
Sepeninggal Panglima Perang Petta Ponggawae, laskar-laskar kerajaan Bone terpencar-pencar. Meski perlawanan masih terus berjalan terutama Laskar-Laskar yang berada di wilayah selatan Kerajaan Bone di bawah komando Latemmu Page Arung Labuaja. Namun kian hari stamina laskar kerajaan Bone semakin menurun sementara serdadu Belanda terus menyisir pusat-pusat pertahannya.
Perlawanan Rakyat Bone kini dilakukan dengan cara bergerilya dan berpindah-pindah. Dari Palakka, rombongan Mangkau kemudian pindah ke Passempe. Tanggal 2 Agustus 1905 M. tentara Belanda menyerbu ke Pasempe, akan tetapi Arumpone dengan laskar dan keluarganya sudah meninggalkan Pasempe dan mengungsi ke Lamuru dan selanjutnya ke Citta. Dalam bulan September 1905 M. Arumpone dengan rombongannya tiba di Pitumpanuwa Wajo. Tentara Belanda tetap mengikuti jejaknya. Daeng Marola Arung Ponre serta sejumlah laskar pemberani terus mendampingi Petta Ponggawae menyertai Arumpone La Pawawoi Karaeng Sigeri hingga di Bulu Awo perbatasan Siwa dengan Tanah Toraja. Di Bulu Awo inilah pada tanggal 18 November 1905 M. Laskar Pemberani Kerajaan Bone di bawah komando Panglima Petta PonggawaE kembali bertemu dengan tentara Belanda dibawah komando Kolonel van Loenen dan terjadi pertempuran habis-habisan. Pada saat itulah, Baso Pagilingi Petta PonggawaE gugur terkena peluru Belanda. Pada saaat gugurnya Baso Pagilingi Petta PonggawaE, La Pawawoi Karaeng Sigeri langsung menaikkan bendera putih sebagai tanda menyerah. Rupanya La Pawawoi Karaeng Sigeri melihat bahwa putranya yang bernama Baso Pagilingi itu adalah benteng pertahanan dalam perlawanannya terhadap Belanda. Sehingga setelah melihat putranya gugur, spontan ia berucap ; Rumpa’ni Bone, artinya benteng pertahanan Bone telah bobo. Lapawawoi Karaeng Sigeri akhirnya ditangkap dan dibawa ke Parepare, seterusnya ke Makassar lalu diasingkan ke Bandung dan terakhir dipindahkan ke Jakarta. Pada tanggal 11 November 1911 M. La Pawawoi Karaeng Sigeri meninggal dunia di Jakarta, maka dinamakanlah MatinroE ri Jakarta. Dalam tahun 1976 M. dianugrahi gelar sebagai Pahlawan Nasional, dan kerangka jenazahnya dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Ketika La Pawawoi Karaeng Sigeri diasingkan ke Bandung, pemerintahan di Bone hanya dilaksanakan oleh Hadat Tujuh Bone. Dengan demikian selama 26 tahun tidak ada Mangkau’ di Bone. Adapun La Semma Daeng Marola, ketika Bone benar-benar telah di kuasai oleh Belanda, La Semma Daeng Marola mangurungkan niatnya untuk pulang ke kampung halamannya, Ponre. Daeng Marola Arung Ponre memilih tetap berada di Bajoe dan menghembuskan nafas terakhirnya disana dan disebutlah ia sebagai Anre Guru Semma Suliwatang Matinroe Ribajoe.
0 komentar:
Posting Komentar