Bung Karno hendak di asingkan ke Bulungan, Mitos atau Fakta?
Ada sebuah legenda atau munkin juga mitos dikalangan masyarakat bulungan, khususnya para tetua dulu, ada yang berkisah sebelum Bung Karno hendak di asingkan ke Ende, Kolonial Belanda mau menempatkan almarhum di Bulungan, namun urung dilakukan karena ada sesuatu dan lain hal, konon ketidak cocokan penguasa Bulungan dengan Bung karno merupakan salah satu sebabnya.
Sudah lama sekali kisah seperti ini aku dengar, memang agak sulit menemukan sumber aslinya, dan hal ini sejujurnya masih perlu di selidiki lebih lanjut, kisah rencana pengasingan Bung Karno ke Bulungan memang menarik, karena batasan antara fakta dan mitos cukup kental
Namun satu hal yang pasti, jika kita menelusuri sikap Bung Karno, khususnya setelah penyerahan kedaulatan Bulungan ke pangkuan RI, saat itu dikisahkan Bung Hatta sempat mengunjungi Tarakan dan serta Nunukan, tapi beliau ternyata justru tidak di utus ke istana Sultan yang berkedudukan di Tanjung Palas, padahal jaraknya tidaklah terlalu jauh, kisah kunjungan Bung Hatta sendiri terjadi sekitar tahun 1949-1950, barulah kemudian utusan resmi RI mengunjungi tanjung palas di wakili Madju Urang yang waktu itu menjabat sebagai wakil pemerintah untuk kalimantan Timur.
Bukan bermaksud memulai teori konspirasi, tapi mungkin tak ada salahnya jika kita bertanya-tanya, apakah Bung Karno memiliki memory pribadi tentang Bulungan? apakah penolakan tersebut memiliki arti sendiri di mata Bung Karno? benarkah pemerintah belanda memiliki salinan dokumen tentang rencana pengasingan di Bulungan? dan apakah Bung karno tau tentang peristiwa jatuhnya istana Bulungan?. apapun itu, mitos atau legenda mengenai Bung karno memang tak banyak yang mengetahui, walaupun memory kolektif masyarakat Bulungan sampai hari ini masih mencatatnya dalam ingatan mereka, walaupun si empunya cerita mungkin satu persatu sudah tidak ada lagi di dunia ini. (zee)
Selasa, 03 April 2012
Hikayat Daerah Istimewa Bulungan
Bicara tentang sejarah lawas modern Bulungan, khususnya mengenai sejarah Daerah Istimewa Bulungan dimasa lampau, tak banyak memang generasi muda yang mengenalnya.
Hikayat mengenai sejarah Daerah istimewa bulungan memang tak dapat dilepaskan dari peran Kesultanan bulungan yang gigih mendukung kemerdekaan Indonesia, karena memang pada faktanya status daerah Istimewa bukan diminta, namun diberi oleh negara Republik Indonesia melalui persetujuan pemerintah pusat.
Dalam catatan sejarah Bulungan, kepala daerah pertama sekaligus terakhir adalah Sultan Maulana Muhammad Djalaluddin, beliau adalah seorang tokoh sejarah yang telah melewati tiga masa sekaligus yaitu zaman belanda, zaman jepang dan era kemerdekaan.
Sultan Muhammad Djaluddin beserta para mentri Khususnya Datuk Bendahara paduka Raja, begitu gigih melawan kehendak belanda di bulungan melalui jalaur diplomasi, dalam sejarah Bendahara Paduka raja atas mandat Sultan Muhammad Djalaluddin – beliau memang tidak disenangi oleh kolonial belanda,- menjalin hubungan rahasia dengan Sultan Gunung Tabur dan Sambaliung di berau untuk mendukung penuh kemerdekaan indonesia, namun pihak kompeni ternyata tak berani menghalangi dengan tegas manuver politik beliau.
(Kantor Kepala Daerah Istimewa Bulungan dalam kenangan)
Demikan pula di tingkatan “akar rumput”, para tokoh pergerakan tak tinggal diam demi menyukseskan integrasi kesultanan bulungan sebagai bagaian dari NKRI tercinta yang kemudian hasil berbuah pada penyatuan Bulungan sebagai bagian dari bangsa indonesia pada 17 Agustus 1949.
Peristiwa ini sendiri digambarkan dengan apik dalam sebuah memorie yang ditulis mengenai kondisi pada saat itu: De anti Nederlandse geest breidde ini de voornaamste gebieden van dit gewest zicht zoodaning uit, dat hetbestuur ijverde voor de invoering van corlog …, de verkiezing van afgvaardigden voor ee Boerneo conferentie word een totale mislukking on kregan de enkele gekezen afgevaardigden Als mandaat mede de aansluiting hij de republik. (semangat anti Belanda telah tersebar luas di daerah ini, sehingga pemerintah berusaha untuk memberlakukan dalam keadaan perang …, Pemilihan utusan ke konfrensi pembentukan negara kalimantan gagal total, karena beberapa utusan yang terpilih memperoleh mandat pengabungan dengan Republik).
Peristiwa ini manjadi era penting masa transisi pemerintahan Kesultanan Bulungan yang telah mengakar berabad lamanya. Setelah bergabung dengan RI, posisi Kesultanan Bulungan sebagai wilayah swapraja dimantapkan melalui surat Keputusan Gubernur Kalimantan Timur Nomor 186 / ORB / 92 / 14 tertanggal 14 Agustus 1950 yang kemudian disahkan menjadi UU Darurat 3 / 1953 dari pemerintah Negara RI. Kemudian wilayah Bulungan berdasarkan UU N0. 22 /1948 menjadi Daerah Istimewa Bulungan. Keputusan itu membuat Sultan Djalaluddin dimandatkan oleh negara Republik Indonesia menjadi Kepala Daerah Istimewa yang pertama sekaligus yang terakhir hingga akhir hayatnya tahun 1958.
Dimasa transisi pemerintahan seperti ini, kerena tak memiliki gedung pemerintahan yang memadai, Kepala Daerah istimewa saat itu, maulana Muhammad Djalaluddin kemudian menetapkan istana Bulungan yang tinggkat dua itu sebagai gedung kepala daerah istimewa dimana semua kegiatan pemerintahan dipusatkan di istana, jadi sesungguhnya sistem satu atap dalam pola pemerintahan sejarah modern Bulungan memang bukan hal yang baru.
Masyarakat Bulungan memang dikenal cukup terbuka dengan hal-hal baru demikian dengan berorganisasi dan politik, menariknya walau telah lama hidup dalam suana kesultanan yang memang masih bernuansa monarky namun Sultan tak pernah menggunakan hak dan kekuasaannya untuk melarang rakyatnya dalam kegiatan politik praktis, perubahan yang mulus menang tak lepas kepemimpinan akhir Sultan Djalaluddin yang kharismatik. Menariknya pemerintah pusat sendiri baru berani mencabut status hal istimewa Bulungan setelah almarhum berpulang ke rahmatullah pada tahun 1958.
(pengaruh belanda makin terkikis setelah penyerahan kedaulatan dan masuknya Kesultanan Bulungan secara sah kepangkuan NKRI)
Setahun kemudian tepatnya setelah UU Nomor 27 tahun 1959 disahkan, berakhirlah status daerah istimewa Bulungan. Sebelumnya telah dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat pertama di Bulungan yang diketuai oleh Muhammad Zaini Anwar (1955-1959). Pada tanggal 12 oktober 1960, dilantik Bupati pertama Bulungan Andi Tjatjo Gelar Datuk Wiharja (1960-1963) yang juga masih kerabat Kesultanan Bulungan. Dimasa beliau ini Ibu kota Kabupaten Bulungan di pindah dari Tanjung Palas ke tanjung Selor.
Bukti sejarah Daerah Istimewa Bulungan
Sama seperti banyaknya sejarah yang terlupa, era transisi dari Monarky ke Republik yang juga di tandai masa sebagai daerah Istimewa dalam sejarah modern Kabupaten Bulungan ternyata tak banyak diketahui dan didokumentasi dengan baik.
Kita kehilangan banyak memory mengenai sejarah Daerah istimewa Bulungan tanpa melihat bukti nyata bahwa sejarah yang mengagumkan itu ada. Jatuhnya istana Bulungan di tahun 1964 menambah catatan panjang kehilangan memory kolektif mengenai masa yang singkat namun penting ini.
Umumnya sejauh yang dapat dipaparkan oleh banyak nara sumber yang saya temui, umumnya mereka mengatakan bukti sejarah tersebut dapat merujuk pada foto-foto peninggalan bersejarah berupa istana tingkat dua yang sempat menjadi kantor kepala daerah Istimewa bulungan waktu itu, sejauh ini itu saja bukti yang umumnya dapat tunjukan. Bukti-buki fisik lain berupa palang nama daerah istimewa Bulungan pun beserta istana yang telah disebut tadi sudah tak ada lagi rupanya.
Pun demikian pula dokumen-dokumen dan surat-surat penting di istana, sulit untuk untuk menemukannya karena memang bisa jadi sudah tercerai berai dan sebagaian tak lagi dapat di baca. Ada kah bukti-bukti lain yang dapat menjalaskan kepada generasi mendatang kita bahwa Daerah Istimewa Bulungan itu memang pernah ada?
(Dokumen sejarah 15 Djuli 1951, dokumen penting sejarah Daerah Istimewa Bulungan)
Penelusuran saya mengenai sejarah Daerah Istimewa Bulungan, cukup panjang riwayatnya, kesulitan menemukan bukti fisik tersebut merupakan kendala utama saat itu.
Saya beruntung pada saat melakukan penelitian mengenai sejarah Mesjid Al-Kaff di kampung arab, secara tak sengaja saya menemukan bukti berharga sejarah yang terawetkan dengan baik oleh tangan-tangan dingin yang menjaganya beberapa puluh tahun lamanya.
Kepada Said Mohammad Al-Jufri, saya patut berterimaksih pada beliau karena mengizinkan saya melihat dan menyimpan copy dari sebagain dokumen penting mengenai sejarah mesjid tertua di Tanjung Selor itu. Salah satu dokumen tersebut bertanggal 15 Djuli 1951. Dokumen ini dibuat sezaman dengan masa Daerah Istimewa Bulungan!
Saya tertegun sewaktu membaca dokumen lawas yang kertasnya sudah buram namun tulisannya masih dapat terbaca dengan baik tersebut. Bagaimana tidak, walaupun isinya menyangkut perluasan mesjid Al-Kaff, namun terlihat jelas surat tersebut direkomensaikan langsung oleh Kepala Daerah Istimewa Bulungan, lengkap dengan cap stempel kepala Daerah Istimewa dan cap stempel Wedana Tandjung Selor.
Dalam dokumen tersebut tertulis nama “M. Mohd. Djalaluddin”, selaku Kepada Daerah Istimewa, “M. D. Purwo Nata”, sebagai Wedana Tandjung Selor, bersama “M. Godal” yang tak lain adalah Kyai Mahfud Godal dan “Enci Chairul Alil” sebagai ketua I dan dan Penulis I dalam pengesahan surat tersebut. belum lagi ejaan yang digunakan, tampak jelas masih menggunakan ejaan lama, saya sempat membandingkan dengan dokumen sejarah yang saya miliki, dokumen itu merupakan copy dari sejarah bulungan yang di tulis oleh Datuk Perdana, kemiripan ejaannya sama, artinya surat itu memang ditulis sekitar tahun 1950-an.
(perhatikan baik-baik cap stampel dalam dokumen tersebut, terlihat jelas tulisan Daerah Istimewa Bulungan, pun lihat juga nama dalam tanda tangan tersebut, M. Mohd. Djalaluddin, Sultan Bulungan terakhir dan Kepala Daerah istimewa Bulungan).
Dokumen ini menjadi bukti penting mengenai sejarah Daerah istimewa Bulungan yang tak terbantahkan dan terawat dengan baik. Sulit bagi saya menyembunyikan rasa gembira dan syukur saat menemukan dokumen bercap stempel tersebut, karena sekali lagi kita akhirnya dapat menemukan bukti sejarah tertulis mengenai sejarah Daerah Istimewa Bulungan yang sebelumnya hanya saya dengar tanpa saya melihat langsung bukti fisik dan dokumen yang menyertainya. Lebih jauh kita memang dapat membuktikan bahwa sejarah Daerah Istimewa Bulungan itu memang benar-benar ada bukan sekedar isapan jempol belaka!.
Sabtu, 18 Februari 2012
Hikayat Jas dan Songkok Dalam Lintasan Sejarah Bulungan
Salah satu hal yang gemar saya perhatikan dalam foto-foto tua yang buram mengenai kesultanan dan masyarakat Bulungan tempo dulu adalah style pakaiannya. Apa bila kita perhatikan lebih jauh mayoritas dalam foto-foto tua itu kebanyakan khususnya para lelakinya mengenakan songkok, benda ini hampir tak pernah lepas dari kepala tiap lelaki bulungan pada masa itu.
Foto lain juga yang saya perhatikan adalah penggunaan jas, gagah bukan main mereka menggunakan jas tersebut apa lagi di padu dengan songkok, tak beda jauh dengan foto-foto Bung Karno saat masih muda dulu. Pernyataan yang kemudian yang mengena di hati saya adalah kapan songkok dan jas digunakan dalam kehidupan masyarakat dan elit kesultanan bulungan tempo dulu.
Makna jas dan songkok dalam sejarah Bulungan.
Berbicara mengenai songkok maupun jas, berarti berbicara mengenai perlambangan atau syimbol-syimbol keterbukaan masyarakat Bulungan terhadap budaya luar yang kemudian menjelma menjadi identitas masyarakat maupun elit sosial dimasanya. Kedua syimbol ini menyiratkan mengenai jalinan sejarah mengenai interaksi budaya timur dan barat dalam tradisi Bulungan.
Songkok kapan sebenarnya masuk dan menjadi identitas dalam masyarakat bulungan? Tak banyak yang tahu pasti hal tersebut, namun diperkirakan songkok mulai menyebar di Bulungan sejalan era awal terbukanya perdagangan di Tanjung Selor, interaksi budaya dan agama, menyebabkan songkok yang dibawa oleh masyarakat Melayu, Banjar dan Bugis maupun orang arab dengan peci putih dan torbuznya pada abad ke-18 dan meraih momentum pada abad ke-19, sangat mungkin menjadi landasan mengapa songkok menjelma menjadi identitas dalam masyarakat Bulungan.
Tentu saja yang juga tak dapat dilupa adalah dimasa-masa awal kesultanan Bulungan, songkok tak dikenal, melainkan tutup kepala berupa kain yang dililit dikepala, kain ini umumnya berwarna kuning gading.
Faktor-faktor penting yang juga adalah songkok adalah syimbol-syimbol tradisi yang erat kaitannya dengan agama Islam, ini pula yang memudahkan jalan bagi songok menjadi identitas tidak hanya pada tingkatan akar rumput (masyarakat) namun juga tingkatan elit kesultanan Bulungan, bahkan menjadi pelengkap busana penting yang tidak bisa diabaikan.
Islam melarang bermewah-mewah secara berlebihan, karena itu untuk seorang Sultan tradisi Bulungan, mahkota hanya digunakan dalam acara serimonial penting kenegaraan saja –penulis secara peribadipun tak pernah melihatnya walaupun dalam bentuk selembar foto-, disinilah peran songkok begitu penting mengganti mahkota pada kegiatan keseharian, Demikian juga para bangsawan, dalam sebuah foto dimasa Sultan Kasimuddin menjelaskan bagaimana songkok menjadi busana penting, di era Sultan Maulana Muhammad Djalaluddin songkok bahkan nampaknya menjadi semacam identitas yang mewakili individu-individu tertentu khususnya para menteri yang berada disekitar beliau.
Datuk Laksamana Paduka Radja misalnya, Songkok khas hitam yang bergaris putih melintang adalah ciri dari beliau. begitupula salah seorang petinggi kesultanan Bulungan, terlihat menggunakan songkok dengan motif bertotol-totol menerupai kulit Harimau. Sultan Djalaluddin nampaknya lebih senang warna yang polos putih atau hitam, dalam sebuah foto lain beliau menggunakan peci hitam dengan sedikit renda yang umumnya sering dipakai masyarakat biasa.
Demikian pula jas, pakaian ini dalam bentuk awal mengacu pada bentuk Uniform atau pakaian resmi khusus Gubernur Hindia Belanda dengan sulaman berwarna keemasan, bentuk motif yang digunakan oleh Sultan Bulungan, tentunya tak sama dengan motif yang digunakan oleh Sultan Kutai, Sultan Sembaliung dan Sultan Gunung Tabur.
Uniform ini dalam sebuah foto nampaknya berawal dimasa Sultan Kaharuddin II, catatan sejarah menyebutkan bahwa dimasa tersebut kolonial belanda benar-benar masuk dan mencampuri kehidupan politik, budaya serta ekonomi kesultanan Bulungan, uniform yang kurang lebih sama juga digunakan oleh para sulta setelah beliau pun demikian juga dengan para menteri dan jajaran elit kesultanan Bulungan hanya saja yang tak berubah adalah penggunaan songkok yang tak pernah ketinggalan.
Penggunaan jas sendiri ada banyak macamnya, tentunya tak hanya uniform yang digunakan Setidaknya beberapa foto yang berhasil penulis kumpulkan menimbulkan kesilmpulan bahwa para sultan cukup terbuka dengan mode pakaian ala barat, menariknya walaupun cukup terbuka dalam hal tersebut, namun Belanda tidak benar-benar dapat membuat para sultan menjadi skuler, justru sebaliknya pendidikan agama Islam dijadikan penyaring terhadap budaya barat yang mencapai puncaknya diawal abad ke-20 dilingkungan istana Bulungan.
Hal yang lebih ketat terjadi lingkungan rakyatnya, kesultanan Bulungan memang teguh adat istiadat dan agama Islam sebagai landasan, itulah nampaknya belanda mengalihkan pusat keberadaan mereka lebih besar di kota Tarakan yang majemuk dan terdapat pusat-pusat pengeboran minyak sekaligus pusat pertemuan pemarintahan Hindia Belanda beserta angkatan bersenjatanya.
Epilog
Songkok dan jas merupakan bagian sejarah kesil di zaman kesultanan Bulungan yang terlewat dari padangan kita, padahal keduanya merupakan simbol dari nilai-nilai timur (Islam) dan barat yang coba disatukan sekaligus pula menjadi bentuk pertarungan abadi nilai-nilai budaya timur dan barat yang mewarnai sejarah panjang kesultanan paling dinamis di wilayah utara pantai timur kalimantan ini.
Sumber foto:
Museum Kesultanan Bulungan
Facebook Siti Harna Hamad.
Minggu, 11 Desember 2011
Hikayat Penari Jugit Dari Bulungan
Tari jugit, hampir semua orang Bulungan tahu, paling tidak pernah mendengar namanya. Memang tari jugit merupakan salah satu pencapaian seni tertinggi di bidang tari pada zamannya, saat budaya istana Bulungan masih tegak berdiri.
Membahas tari jugit agaknya kurang rasanya bila tak menyelami hikayat penarinya, pengalaman dan pelatihan yang pernah di alami dan di lakoni sang seniman.
Tari Jugit, pencapaian tertinggi seni tari istana Bulungan.
Bila merujuk hikayat yang menyelubunginya, tari jugit yang dikenal saat ini tidak lahir dengan sendirinya, menurut riwayat tradisional Bulungan, kreator tari jugit adalah pendekar sekaligus seniman istana saat itu.
Sama halnya dengan tari balet di istana Tsar Rusia maupun Kaisar Austria-Hongaria, para instruktur balet menjadikan seni tari ini menjadi orientasi hidup para balerina, artinya Balet bukan hanya sekedar seni tapi juga bagian penting dari hidup mereka. Cara yang sama sebenarnya mirip dengan apa yang terjadi diistana Bulungan, jangan kira para penari jugit dimasa itu adalah sebuah pekerjaan yang mudah, butuh pendalaman seni yang dalam tapi juga kerja keras yang tinggi.
Para balerina diasuh, didik dan dilatih sejak belia oleh para instruktur mereka, tak beda jauh dengan para penari jugit, hanya mereka yang benar-benar lulus seleksi yang akan menjadi penari jugit.
Untuk menjadi seorang penari jugit, dibutuhnya persyaratan yang tidak ringan, salah satu yang paling penting adalah calon penari tak punya ikatan politik, artinya keluarganya bukanlah orang yang memiliki akses ke istana raja maupun orang-orang menjadi tokoh penting dilingkungan kesultanan seperti tokoh agama maupun tokoh adat.
Umumnya para instruktur akan mencari seorang gadis Bulungan yang cantik, berambut panjang terurai, tubuh dan mental yang sehat, setelah itu para calon penari bisa diboyong ke istana untuk didik setelah mendapat persetujuan orang tua atau wali dari si gadis.
Kehidupan para penari tentu saja akan berubah setelah meraka masuk dan menjadi bagian istana kesultanan Bulungan, demikian juga keluarga mereka, ini tak lain penari jugit adalah salah satu status tertinggi yang dimiliki oleh gadis Bulungan selain bangsawan dan tokoh agama di Bulungan. Para penari mendapat perhatian penuh dari Sultan bahkan kabarya saat mereka menikah -juga keperluan lainnya selama aktif sebagai seniman istana-, biayanya di tanggung oleh istana.
Tahap-tahap pelatihan penari jugit.
Dalam seni tari jugit, penari setidaknya menguasai olah seni dan olah tubuh, olah seni mengacu kepada kemampuan sang penari dalam menguasai tiap jengkal tari jugit, mampu membedakan bagaimana gerak tari jugit paman atau demaring dan mampu menyuguhkan etika seni yang santun.
Kemudian ada juga yang disebut oleh tubuh, yaitu kemampuan mengolah tubuh khususnya untuk menjaga kesehatan dan meningkatkan kemampuan dan stamina sang penari saat pementasan, sebab tari ini adalah tari istana, durasinya bisa tidak pendek.
Ada beberapa tahapan yang harus dijalani dalam latihan yang tidak ringan itu, menurut ibu Qamariyah, salah seorang instruktur tari daerah Bulungan yang juga putri dari seniman legendaris Bulungan Alm. Datuk Aziz Saleh Mansyur, menuturkan pada penulis bagaimana cara-cara pendidikan dan pelatihan tari jugit yang berdisiplin tinggi itu.
Konon pagi sebelum azan sholat subuh dikumandangkan, mereka sudah bangun untuk ritual mandi, itupun tak langsung mandi seperti orang kebanyakan, -pakaian para penaripun sangat tertutup, umumnya saat menjadi penari mereka akan memiliki dua orang pengawal dan seorang instruktur tari di istana-, mereka akan mengalami proses pelemparan atau dalam istilahnya “di timbai” dengan posisi punggung yang jatuh dahulu di air sungai, ini berlangsung tidak satu dua kali untuk meleturkan bagian tubuh tersebut, dan hal ini hanya dilakukan orang-orang yang khusus dan terlatih, jadi tidak sembarangan.
Menurut kisah yang dituturkan, untuk menjaga keamanan para penari saat mandi, dahulu dibuatlah semacam pagar yang rapat berukuran besar yang terbuat dari kayu laut, ini dimaksud untuk melindungi si penari dari ancaman buaya dan sebagainya, sayangnya baik penulis dan narasumber tidak mengetahui lebih jauh apa yang dimaksud dengan kayu laut oleh para tetua dulu.
Proses lain akan dilanjutkan lagi setelah mandi adalah senam yang melatih fisik, ada beberapa tahapan yang dijalankan:
Pertama: Paha dimasukkan kebawah tangga, duduk katak badan ditarik dari belakang selama beberapa menit dilakukan berulang-ulang oleh pengawal. Tentu saja tangga yang dimaksud memang khusus dibuat untuk keperluan tersebut.
Kedua: Badan atau punggung diikat ditiang rumah dengan selendang setelah itu badan ditarik kebelakang selama beberapa menit dilakukan berulang-ulang oleh pengawal. Tiang-tiang ini memang khusus dimiliki perorang / perpenari, di dalam keraton, tempat dimana mereka dilatih dan didik sejak awal mereka sudah memiliki tiang-tiang latihan tersebut.
Ketiga: Kedua jari tangan dimasukkan (digenggam), siku tangan dimasukkan antara 2 lutut lalu dirapatkan oleh si pengawal.
Keempat: Jari tangan direndam di air hangat selama beberapa menit lalu dilentingkan oleh sipengawal. proses ini dimaksud memudahkan gerak tangan sipenari saat pergelaran, ini tak lain karena gerak tangan erat kaitannnya dengan tarian jugit baik Jugit Paman maupun Jugit Demaring.
sumber lain menyebutkan bahwa Badan si penari diguling didalam tilam lalu digulingkan di anak tangga oleh sipengawal berulan-ulang. Hal ini dilakukan di pagi hari, berguna supaya badan penari tidak kaku dan mudah dalam mempelajari gerakan jugit.
Demikian rangkaian senam yang dilakukan saban pagi oleh penari jugit, setelah itu mereka bisa beraktivitas normal seperti shalat subuh dan sebagainya, menariknya tidak ditemukan dalam catatan sejarah maupun kisah-kisah yang menyebutkan pelatihan ini menyebabkan cacat ataupun luka-luka serius, hal ini tidak lain karena program pelatihan para penari ini telah diperhitungkan dengan matang dan dilakukan oleh instruktur dan pengawal yang profesional di bidangnya, hukuman yang berat bisa dijatuhkan pada para pengawal dan instruktur tari bila terjadi kelalain, sebab para penari ini langsung dibawah perlindungan Sultan Bulungan.
Lalu bagaimana dengan hikayat mengenai tubuh penari jugit yang konon sangat langsing namun berisi itu? penelusuran saya serta beberapa catatan tertulis mengenai hal tersebut membuat saya terkejut sekaligus rasa takjub, bagaimana tidak untuk menjaga proposi tubuh mereka menjalani semacam diet yang ketat.
Menurut kisah yang saya ketahui, diet ketat ini terlihat dari alat-alat makan yang digunakan, misalnya makan seujung sendok nasi, dan minum setakaran telur ayam, maksudnya alat makan yang digunakan dengan takaran seperti itu, tentu saja boleh menambah namun dengan alat makan yang disediakan, makanan ini dipadukan dengan buah-buahan segar dan susu, sehingga kesehatan dan proporsi tubuhnya terjaga.
Pada siang hari para penari beristirahat dikamarnya masing-masing, mereka duduk diatas semacam tempat khusus atau tikar selain di tilam mereka yang di taruh semacam pelebah kelapa, dalam kondisi seperti ini mereka dianjurkan untuk tidak tidur siang berlebihan, sebagai gantinya mereka melakukan perawatan tubuh dengan berlulur khas Bulungan yang disebut “Bekasai”.
Epilog.
Tari Jugit sebagai bagian dari maha karya seni Bulungan bukan tak pernah memasuki masa yang suram, jatuhnya istana Bulungan tahun 1964 juga di ikuti kajatuhan seni istana, yang paling terkena imbasnya tentu adalah tari jugit, ini tak lain karena jenis tari ini hanya boleh digelar di istana Bulungan dan dilakukan oleh gadis Bulungan diluar kasta bangsawan, namun instrukturnya hanya boleh melatih atas sepengetahuan sultan, dalam hal ini orang Bulungan menjaga betul hal tersebut.
Disisi lain timbul juga ketakutan, ada anggapan bahwa jika ada yang mencoba menarikan tari jugit sama artinya mencoba menghidupkan lagi kenagan lama kesultanan Bulungan yang pada imbasnya akan juga terkenang kejadian yang tidak menyenagkan pada tahun 1960-an itu. Wajar saja timbul kekhawatiran saat itu tari jugit ini akan musnah.
Namun bupati Bulungan yang berpikiran terbuka seperti Kol Soetadji, Yusuf Dali dan juga di ikuti oleh R.A Besing, mencoba membuka kekakuan tersebut dengan menggelar Birau (pesta rakyat) yang juga diikuti oleh pegelaran seni tari Bulungan seperti tari jugit. Usaha ini mendapat tanggapan positif dari masyarakat Bulungan, selain itu tak dapat di tampikkan juga ada usaha dan kesadaran tokoh-tokoh masyarakat dan seniman Bulungan agar tari jugit ini tetap lestari.
Sejak itu tari jugit kembali digelar di sanggar-sanggar tari maupun sekolah, ini tentu positif walaupun tidak lagi menjalani pelatihan seperti dulu. Saya harap kedepannya tari ini tetap lestari, dikenang dan dikembangkan oleh segenap masyarakat Bulungan hari ini hingga yang akan datang.
tulisan ini tentu jauh dari kesempurnaan, kritik dan saran sangat dibutuhkan. Demikian sedikit ulasan saya mengenai hikayat penari jugit, semoga tulisan kecil ini bisa bermanfaat. Amin.
Sumber:
Wawancara Ibu Iyay (Qamariyah), pada tanggal September 19, 2010, 3:23:00 AM. Pengajar tari tradisional Bulungan.
http://muhzarkasy-bulungan.blogspot.com/2010/11/ragam-seni-tari-tradisional-bulungan.html
http://amaliayoshiokachangmi.blogspot.com/2011/05/jugit-keraton.html
Rabu, 12 Oktober 2011
Hikayat Naga Dalam Cerita Lisan Orang Tidung dan Bulungan.
(Sepasang Naga yang dimanifestasikan dalam bentuk ukiran tradisional Tidung)
Beberapa waktu yang lalu, saya membaca sebuah situs mengenai Naga di Kalimantan, tentu saja Naga yang dimaksud bukan seperti dalam penggambaran budaya timur khususnya dalam budaya Tionghoa, Naga dikalimantan lebih digambarkan sebagai ular raksasa terkadang dengan hiasan dikepala tanpa kaki dan tentu saja tanpa misai.
Kisah mengenai Naga di Kalimantan rupanya juga sempat membuat kepicut sutradara Hollywood dengan menampilkan ular besar Kalimantan dalam filmnya “Anacondas the Hunt For the Blood Orchid”, setidaknya seperti itulah spirit yang diangkat dalam film tersebut. Kita pun pernah dikejutkan dengan beredarnya foto-foto mengenai ular besar di kalimantan, walaupun beberapa darinya dianggap Hoax alias tak nyata.
Namun demikian, kisah ular-ular besar itu bukan tak pernah ada, sebuah fosil yang ditemukan di kawasan hutan hujan Kolumbia -yang penggambaran wilayahnya kurang lebih sama dengan hutan hujan kalimantan- memunculkan dugaan kuat bahwa hewan yang menjadi legenda itu memang pernah ada.
Titanoboa Cerrejonensis, begitulah para ilmuan menyebutnya, tak main-main Panjangnya mencapai 12,8 hingga hampir 14 meter, dan berbobot 1,25 ton. Ukuran tubuh titanoboa yang luar biasa memberi petunjuk tentang habitatnya. Dengan tubuh sebesar itu menunjukkan bahwa titanoboa hidup di suhu lingkungan yang hangat. Tampaknya temperatur di garis khatulistiwa meningkat bersamaan dengan suhu global.
Menurut para ahli baik dari American Museum of Natural History di New York dan University of Toronto Missisauga, monster melata itu di masa lalu mungkin saja melahap dan mengunyah buaya di hutan hujan tropis yang menjadi tempat tinggal mereka sekitar 58 juta hingga 60 juta tahun lalu.
(Titanoboa, ular raksasa yang menjadi legenda)
Lalu bagaimana cerita mengenai kisah ular-ular raksasa itu dalam hikayat lisan yang ada dimasyarakat Kalimantan, khususnya dalam masyarakat Tidung dan Bulungan? Saya mencoba untuk menelusuri cerita-cerita lisan yang berkisah mengenai hewan legendaris bahkan dianggap mahluk mitologi itu.
Hikayat Naga Dalam Lindungan Kabut.
Naga hidup dalam alam pikiran dan kisah-kisah lama yang tak lengkang dipukul waktu, namun kisah itu layaknya kabut tebal yang terkadang memang tak mampu dijangkau oleh logika kita.
Sejak kecil saya sudah sering mendengar kisah-kisah penampakan mahluk legendaris itu, cerita-cerita mengenai keberadaan mereka tak jarang membuat bulu kuduk berdiri. Semakin jauh mereka dari manusia semakin kental keberadaan mereka baik dalam alam pikiran maupun masuk dalam relung-relung budaya.
Naga dalam cerita lisan pada masyarakat Tidung dan Bulungan bervariasi bentuknya, sebagian masyarakat ada yang percaya mereka merupakan mahluk supranatural yang mampu berkomunikasi dengan manusia-manusia yang memiliki kemampuan khusus tertentu. Bahkan ada pula sebagian yang percaya mereka dapat berubah bentuk menyerupai manusia di alam mereka, tentu jika tingkatan ilmunya sudah pada tahap sempurna.
Naga-Naga ini digambarkan hidup tak jauh dari sungai, konon ada yang bercerita bahwa pernah ada seekor Naga menjadi penunggu didasar sungai Buaya, maklum waktu itu kawasan sungai Buaya tak seramai sekarang, mereka yang matanya “Tembus”, -istilah masyarakat tempatan pada orang yang mampu berkomunikasi dan melihat wujud mahluk halus-, mengatakan bahwa mata sang Naga, lebarnya kurang lebih sebesar piring makan, saking besarnya si penunggu sungai tersebut. Cerita lain menyebutkan bila terjadi hujan di kawasan hulu, namun kawasan Tanjung selor dan sekitarnya baru banjir sekitar tiga hari kemudian, itu pertanda bahwa Naga-Naga yang tak kasat mata itu menahan arus air selama tiga hari tiga malam.
(Titanoboa salah satu ular terbesar yang pernah hidup di bumi)
Namun ada pula kisah lain yang menceritakan dan percaya bahwa Ular Naga itu memang pernah ada, mereka bukan sekedar mahluk supranatural, tapi berawal dari seekor ular, -khususnya sejenis ular Tedung, Sawa, Phiton atau Boa-, yang konon bertapa untuk mendapatkan mestika yang tumbuh disekitar kepala mereka, hewan-hewan ini bertapa atau tidur untuk membesarkan badannya, melahap apa yang ada disekitar mereka atau yang lewat dihadapan mereka. Dikisahkan pula tak jarang mereka melilitkan tubuhnya pada sebatang pohon yang besar dan rimbun di dalam hutan untuk bertapa. Untuk menjadi seekor Naga tidak hanya harus membesarkan badan, namun juga harus mampu bertahan hidup menghadapai ujian akhir, yaitu menangkap batu petir, yaitu sebuah batu yang dipercaya muncul saat petir menyambar pepohonan besar didalam hutan, jika tubuhnya kuat, ia akan hidup namun sebaliknya, hikayat Naga itu hanya sampai disitu.
Dalam budaya Tidung khususnya, Naga digambarkan cukup kental merembes dalam budaya mereka, gambaran itu dimanifestasi dalam bentuk seni ukir. Menariknya setidaknya Naga digambarkan dalam dua bentuk, bentuk pertama dua ekor Naga yang kepalanya berpaling, dalam bentuk ini gambaran mengenai Naga tersebut lebih berbentuk simbolik dengan sisik-sisiknya, sedangkan bentuk kedua yaitu dua buah Naga yang saling berhadapan memperlihatkan wujud Naga berupa ular besar yang saling bersentuhan.
Dimasa lampau, pelaut-pelaut Tidung, konon mengukir Naga pada lambung-lambung kapal mereka, terkadang diukir penuh dari kepala hingga ekor, sebagai bentuk kebersamaan mereka dengan mahluk legendaris itu tapi juga dimaksud untuk menolak maksud-maksud jahat dari mahluk lainnya dilautan.
Naga Dalam kisah Lama Para Penebang Kayu.
Setidaknya kisah-kisah penampakan mahluk legendaris terdengar di medio tahun 1970 hingga 1980-an, cerita mengenai keberadaan nyata mereka didengungkan oleh sebagian kecil para penebang kayu. Maklum saja itu masa-masa awal penebangan kayu dan pembukaan hutan oleh perusahaan. Kisah mengenai ular-ular besar dihutan-hutan Bulungan memang kerap saya dengar semasa kecil dulu, khususnya dari kakek saya, almarhum Djamaloeddin Bin Haroen.
Kakek dimasa itu sempat bekerja menjadi sopir damtruk yang mengangkut pekerja atau tim survai lapangan di perusahaan kayu, -sebelum pindah dari BPM (Batafche Petroleum Mastchapic) di Tarakan-, khususnya yang beroperasi disekitar hutan diantara kawasan Bulungan dan Tanah Tidung, kakek bercerita bahwa hutan-hutan itu memiliki nuansa mistik yang kental, bukan hanya penuh dengan mahluk-mahluk aneh tapi juga kisah-kisah seram termasuk mengenai keberadaan ular-ular yang memiliki ukuran yang besar.
(Foto seekor Naga atau Nabau dalam sebutan masyarakat Sungai Kajang di daerah Serawak, legenda mengenai keberadaan mahluk seperti ini juga ada dalam cerita-cerita lisan masyarakat khususnya dikalangan orang Tidung dan Bulungan).
Kisah-kisah mengenai ular-ular besar itu umumnya dianggap tabu untuk dikisahkan secara terbuka, khususnya para penebang kayu seangkatan kakek yang pernah mengalami kejadian bertemu dengan mahluk tersebut. Para penebang memiliki perasaan yang sungkan untuk mengisahkan keberadaan Naga-Naga tersebut karena mereka percaya mahluk itu dapat merasakannya, ular-ular besar itu dipercaya membalasnya dengan menyergap para penebang dengan bersembunyi dibalik kerimbunan hutan maupun pinggir kawasan sungai dalam.
Banyak dari mereka tidak ingin berurusan dengan mahluk tersebut, kakek bahkan tidak menyebut nama “ular” namun menggunakan perumpamaan seperti istilah “benda itu” atau “barang itu” bahkan kadang menyebutnya dengan istilah “akar atau pendeng”, sebagai bentuk penghormatan sekaligus rasa sungkan terhadap keberadaan mahluk tersebut.
Dalam kehidupan sebagian kecil orang di Bulungan memang ada yang tabu menyebut nama hewan-hewan tertentu dengan nama aslinya, mereka senang menyebutnya dengan perumpamaan seperti istilah “akar atau pendeng” untuk ular, “putri” untuk sebutan tikus dan “nenek atau datuk” untuk menyebut buaya.
Umumnya ada kepercayaan lama dikalangan orang-orang Bulungan tentang tanda-tanda alam, bila bertemu dengan seekor ular saat melakukan perjalanan, disarankan untuk mengubah haluan karena dianggap membawa hal yang kurang baik, para penebang kayu dimasa itu memiliki kepercayaan biasanya orang-orang yang kepuhunanlah yang bisa bertemu dengan mahluk tersebut, tentu saja bertemuan seperti itu bukan pertanda yang bagus.
Beberapa kisah penampakan mengenai keberadaan ular Naga tersebut menjadi kisah tersendiri dikalangan mereka yang sebenarnya enggan untuk dikisahkan, misalnya tentang sebatang pohon tumbang yang berukuran sangat besar secara tak sengaja diduduki oleh salah seorang penebang, bentuknya seperti batang kayu yang sudah lapuk dan ditumbuhi lumut, iseng-iseng salah seorang dari mereka menancapkan parang, mereka terkejut bukan buatan karena dari batang kayu tua berlumut itu, tersembur darah segar, tak banyak pikir para penebang lari pontang-panting dibuatnya.
Kakek pernah bercerita saat ia dan para penebang kayu melintas jalan hutan atau jalan loging, butuh waktu cukup lama untuk memberi jalan seekor ular besar yang sedang melintas, keadaannya jadi serba salah, walaupun truk yang mereka gunakan cukup besar, namun tidak akan cukup kuat untuk mengusik seekor ular dengan tubuh dua atau tiga kali dari ukuran normalnya, kalau sudah begini lebih baik biarkan saja benda itu lewat. Menurut kakek nasib mereka cukup mujur kala itu sebab mereka tidak berpapasan langsung dengan kepala ular besar tersebut.
(Bentuk Ukiran lain tentang naga yang secara simbolik digambarkan pada sisik-sisiknya)
Kisah lain yang juga menarik adalah, pada suatu hari tim survai lapangan sedang melakukan pemetaan dan pengukuran kawasan hutan yang akan di tebang, mereka menemukan sebatang pokok kayu aneh yang berdiri, disekitar pokok tersebut ada kayu-kayu yang bertumbangan, bau yang kurang nyaman terasa dibawa angin, kebetulan tak jauh di depan terdapat semacam gundukan yang menyerupai sebuah bukit kecil, beberapa orang sempat naik keatas gundukan bukit yang nampaknya ditumbuhi lumut itu, namun setelah diamati dengan baik, rupanya seekor ular Sawa berbadan besar sedang bertapa, mau tak mau survai lapangan hari itu langsung dihentikan, dari kejauhan terlihat batang pohon tersebut bergoyang seperti dihisap angin, nampaknya ia hidup dengan cara menghisap apa dan siapa saja yang lewat dihadapannya. Konon begitu pohon tunggal itu mampu tercabut dari tempatnya, itu artinya sang Naga telah siap untuk turun ke Sungai.
Banyak kisah-kisah tak lazim mengenai Sang Naga yang hanya diketahui sebagian orang, Selain itu penampakan yang tak banyak tersebut makin menambah mitos dan legenda yang menyelubunginya.
Terpulang lagi bagaimana cara kita menanggapi cerita-cerita lisan yang beredar dimasyarakat kita mengenai hikayat Sang Naga. Apapun itu tulisan ini hanya dimaksud untuk menambah penghargaan kita terhadap alam disekitar, bahwa dihutan yang lebat itu, tersimpan banyak rahasia-rahasia alam yang patut kita jaga dan kita hargai, sekaligus memotret pandangan masyarakat setempat mengenai hikayat Sang Naga yang bersembunyi diantara kabut tebal mitos dan legenda. (dihimpun dari berbagai sumber).
Daftar Pustaka:
27574-fosil_ular_terbesar_di_dunia.htm.
http://andiherman.wordpress.com/2009/02/21/ular-naga-raksasa-kalimantan-sepanjang-33-meter/
http://internasional.kompas.com/read/2009/02/21/05450289/Heboh.Ular.Raksasa.Kalimantan.Sepanjang.33.Meter
Memanen Sejarah Sarang Burung Walet Di Bulungan.
(Desain bubungan istana Bulungan yang unik ternyata menyimpan rahasianya tersendiri, satu lagi master piece Bulungan yang patut di kenang).
Siapa yang tak kenal sarang burung walet, di Bulungan sudah bejibun rumah-rumah walet di buat, maklum selain soal rasa, harga sarang burung walet memang menggiurkan, namun tahu kah kawan, dibalik cita rasanya sebagai barang mewah, ia juga punya sejarah panjang di Bulungan yang layak untuk kita dipanen.
Sekilas Sejarah Sarang Burung Walet Dalam Perdagangan Dunia.
Sarang burung walet, bukan barang baru dalam sejarah perdagangan dunia, bila merujuk catatan sejarah, sarang burung walet menjadi barang yang diperdagangkan dimasa Dinasty Tang (618-907 SM), iapun masuk dalam daftar menu wajib di istana.
Kemudian pada masa Dinasty Ming di tahun 1430, Zeng He alias Cheng Ho dikirim dalam sebuah muhibah resmi keberbagai negera melakukan misi diplomatik dan perdagangan, salah satu komuditi yang diperdagangkan adalah sarang burung walet.
“Berdasarkan catatan sekitar tahun 1587, China mengimpor sarang walet dalam jumlah besar dan mengenakan bea impor. Pada 1618, jumlahnya meningkat pesat karena adanya pengurangan bea impor yang diberikan kaisar dari Dinasti Ming. Pada waktu itu, sarang walet diterima dengan baik sebagai makanan berharga oleh penduduk Provinsi Guangdong dan Fujian,” tulis www.birdnestsoups.com
Jejak rekam sarang burung walet sendiri makin bersinar dengan adanya dua karya pengobatan yang mengharumkan namanya, dimasa Dinasti Qing akhir abad ke-17, karya tersebut tak lain adalah: Ben Cao Bei Yao (Catatan-catatan Penting tentang Bahan Obat-obatan) karya Wang pada 1694 dan Ben Cao Feng Yuan (Bahan Obat-obatan di Alam Terbuka) karya Zhang pada 1695. Orang China percaya sarang burung walet punya daya penyembuh untuk beragam penyakit seperti TBC, sakit lambung, dan perdarahan paru-paru. Ia juga dianggap mampu meremajakan kulit atau memperlambat proses penuaan. Inilah sebabnya Sarang burung walet menjadi mahal karena khasiat yang dimilikinya, mereka sendiri menyebut sup sarang burung tersebut dengan nama Cia Po.
Dimasanya makanan ini menjadi barang mewah, itulah sebab tak semua dapat mengkonsumsinya, walaupun demikian permintaan ekspor impor China yang merupakan konsumen terbesar didunia juga ternyata tidak surut, inilah yang nampaknya membawa berkah bagi perdagangan sarang burung walet di nusantara, apa lagi menu sarang burung walet ternyata telah merata dikonsumsi para penguasa baik di wilayah selatan China seperti provinsi Guangdong dan Fujian, tren yang sama juga terjadi di luar wilayah kekaisaran China.
Kualitas sarang walet ditentukan oleh lingkungan alam dan kondisi gua. Tapi yang terpenting, waktu pengambilan sarang itu sendiri. Sarang terbaik adalah yang didapat dari gua lembab yang dalam dan diambil sebelum burung walet bertelur. Sedangkan yang terjelek, setelah walet muda berbulu. Warna sarang terbaik adalah putih, minim warna gelap, tak tercampuri darah dan bulu. Burung walet umumnya tinggal dan beranak-pinak di gua-gua dekat laut, jauh dari jangkauan manusia. Ada juga walet yang memilih gua-gua pedalaman, termasuk di gua-gua pegunungan kapur.
Menurut Kong et al. (1987), sarang walet yang dapat dikonsumsi oleh manusia berasal dari sarang yang dibuat dari air liur burung walet sarang putih (collocalia fuciphaga) dan burung walet sarang hitam (collocalia maxima) yang mengandung epidermal growth factor (egf). Sampai kini, harga sarang walet putih lebih mahal daripada sarang walet hitam.
Hikayat Sarang Burung Walet Dalam Lintasan Sejarah Bulungan.
Kapan sebenarnya perdagangan sarang burung walet di Bulungan?, tak dapat dijawab dengan pasti, namun melihat arus kuno rute perdagangan yang disinggahi para pedagang China seperti kepulauan Sulu, Laut China Selatan (sekitar Brunai) dan Selat Makassar yang pada dasarnya melalui Bulungan, maka sangat mungkin usia perdagangan sarang burung ini sudah sangat tua.
Menariknya sarang burung walet yang juga disebut lubang batu dalam istilah setempat khususnya dikawasan pantai timur kalimantan ini nampaknya mempunyai makna lebih dari tersekedar barang dagangan, lebih jauh ia sudah masuk dalam ranah politik.
Bahkan hikayat yang diceritakan oleh Johansyah Balham dalam rubrik Khas Kaltim B-Magezine menyebutkan bahwa seorang raja Kutai pernah memimpin penyerbuan terhadapat sebuah kerajaan kecil yang tak jauh dari wilayah kekuasaannya karena tergoda dengan kepemilikan sarang-sarang Burung walet yang menyebabkan kekayaan melimpah raja kecil tersebut.
Di masa kesultanan Bulungan, sarang burung walet juga memiliki rekaman sejarah panjang, beberapa kisah menyatakan bahwa Sultan membagi-bagikan kawasan lubang batu atau sarang burung walet kepada para bangsawan untuk menjamin kesetian mereka demi mewujudkan stabalitas kerajaan.
Yang lebih menarik lagi, menurut cerita yang disampaikan oleh Datuk Krama, salah seorang sepuh di kampung Tanjung Palas secara tak sengaja berjumpa dengan saya di warung kopi dekat kawasan Museum Bulungan.
Datuk Krama menceritakan pada saya bahwa desain istana Kesultanan Bulungan yang bertingkat dua itu, mempunyai fungsi untuk mengembang biakan sarang burung walet, itulah sebab bentuk atap istana yang khas dekat bubungan dimaksudkan sebagai jalan masuk bagi burung-burung walet yang pergi di pagi hari dan kembali menjelang sore, rungan itu gelap. Ada ruangan yang terletak disudut belakang yang digunakan jalan masuk dan keluar manusia untuk mengambil sarang burung walet tersebut. Kisah ini diaimini oleh salah seorang tua yang mengaku sewaktu kecil sering melihat pemandangan keluar masuknya burung-burung walet melalui bubungan istana tersebut.
Sejauh yang penulis ketahui, sarang burung walet memang menjadi salah satu komuditi ekspor penting khususnya pada abad ke-19. Di pantai timur, pelabuhan Samarinda misalnya menjadi salah satu pelabuhan yang didatangi. Kita beruntung J. Zwager, salah seorang Asisten Residen Belanda di Borneo Timur meninggalkan menuskrip berharga berupa laporan perdagangan di tahun 1853 yang bersisi barang-barang yang diperjual belikan lengkap dengan daftar harganya.
Sarang burung walet dalam catatan J. Zwager dibagi dalam dua jenis yaitu putih dan hitam serta dibagi lagi dalam beberapa jenis dengan daftar harga yang berbeda-beda seperti berikut:
Sarang Burung Walet Putih Jenis 1: f 10.—f.12.- per kati
Sarang Burung Walet Putih Jenis 1: f 40.—f.50.- per kati
Sarang Burung Walet Putih Jenis 2 : f 25—f.30.- per kati
Sarang Burung Walet Putih Jenis 3 : f 15—f.20.- per kati
Sarang Burung Walet Hitam Jenis 1: f 250—f.350 per 120 kati
Sarang Burung Walet Hitam Jenis 2: f 100—f.200 per 120 kati
Sarang Burung Walet Hitam Jenis 3: f 80 —f.100 per 120 kati.
Bila melihat daftar diatas nyatalah harga sarang burung walet putih dengan kulitas kelas satu mampu mengungguli sarang burung walet hitam walaupun memiliki kualitas yang sama. Hal inilah yang menjadi penyebab mengapa sarang burung walet menjadi rebutan, bukan hanya pada tingkat pasar tapi juga ketingkat istana, tidak hanya itu sarang burung walet juga telah lama menjadi incaran para perompak maupun perampok, bahkan sejak masa perdagangan kuno terjadi di pantai timur kalimantan ini.
Harga sarang burung walet sampai hari ini bahkan tak pernah mengalami penurunan, ini menarik, sebuah situs internet yang saya baca memuat catatan perkembangan sarang burung walet dalam harga pasaran. Pada tahun 1999 saja data penjualan sarang burung walet mencapai kisan harga yang pantastis. Misalnya harga sarang walet yang dihasilkan dari goa-goa alam di Desa Suwaran, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Untuk sarang walet putih seharga Rp 10 juta/kg dan walet sarang hitam seharga Rp 1,5 juta/kg (Solihin dkk., 1999: 61). Sedangkan, harga tertinggi sarang walet putih mencapai US$ 2,500/kg atau setara dengan Rp 25 juta/kg. (dihimpun dari berbagai sumber).
Daftar Pustaka:
Abdullah, Dr Taufik. 1985.“Sejarah Lokal di Indonesia Kumpulan Tulisan”. Jakarta : Gajah Mada University Press.
majalah histioria/berita-376-liur-yang-lezat.html
http://blogqunian-safran.blogspot.com
Tips Trik Blog: sejarah-burung-wallet.html.
0 komentar:
Posting Komentar